"... Thanks, Fik. Gue balik dulu, ya ..."
"Oke, Den. Semoga masalah lo cepat kelar. Kabari gue kalau ada apa-apa, ya ..."
"Siap."
Aden keluar dari salah satu kedai bubur kacang ijo yang ia biasa sambangi kala bertemu dengan Fikra di luar jam kerja laki-laki itu. Sehabis mendapat berita soal beberapa orang yang memutus mitra dengannya—sebab Saka dan Pak Poco—Aden kemudian mengajak Fikra bertemu untuk membicarakan rencana yang harus ia lakukan kedepannya. Fikra memberi saran pada Aden untuk mengumpulkan bukti terebih dahulu sebab, Pak Poco dan Saka bukan orang yang mudah hanya dengan digertak sambal atau diancam balik begitu saja. Apalagi jika melaporkannya langsung ke pihak berwenang tanpa bukti jelas. Belum lagi, para mitra yang memutus langganan dengan Aden rata-rata memilih bungkam. Saran Fikra ada benarnya, karena Aden juga nggak mungkin langsung melaporkan perkara ini ke kepolisian jika dia nggak mau kalau nantinya malah dicecar balik.
Sambil mengemudikan motornya menuju rumah, terbersit pemikiran soal lamarannya yang telah Kinan terima beberapa hari lalu. Masalah yang tengah ia hadapi semakin kompleks, ide untuk menikahi Kinan pun salah satunya untuk membantu Aden mempertahankan jabatannya saat ini, tapi ... setelah dipikir, sepertinya akan menjadi hal yang besar pasca apa yang Pak Poco dan Saka sudah lakukan sampai sekarang.
Waktu itu ia menawarkan tiga bulan untuk saling membangun perasaan satu sama lain. Namun, sudah sisa dua bulan lebih sedikit sebelum dirinya bisa mengusahakan agar Kinan tetap berada di sisinya. Lamaran belum, apalagi menikah. Agaknya Aden perlu lebih cepat bergerak.
Jujur, perasaan itu semakin hadir ketika mengingat soal Kinan. Ingatan yang membawanya melihat sosok itu lagi dalam pikiran, sosok yang sebenarnya masuk dalam keinginan Aden selama ini. Kandasnya beberapa kali hubungan yang pernah ia bangun, membuat Aden agak sedikit trauma. Walau, ketika ia melihat Kinan, trauma itu membaik. Bahkan, Fikra juga tahu jika Aden yang teramat lama untuk bisa move on dari mantan terakhirnya, membuat sahabatnya itu kerap nggak yakin jika Aden mampu memulai jalan yang baru. Ada dari sifat dirinya yang sebenarnya kurang ia sukai soal terlalu dalam menyimpan cinta. Ketika rasa itu sudah muncul, Aden selalu sulit menghalaunya pergi, istilahnya bucin kelewatan. Ya, Aden cowok dalam tipikal itu. Dia juga nggak ngerti kenapa bisa begitu, tapi kesendiriannya ini pun menjadi jawaban yang jelas bahwa Aden memang sulit menerima yang baru setelah luka yang lama.
Sambil melewati jalan di depan rumah Kinan, laki-laki itu sejenak melirik kesana. Menyaksikan rumah yang tiap hari ia lewati, bahkan sebelum Kinan kelihatan kembali kesana. Selama ini, Kinan nggak pernah ia bayangkan. Pernah, Aden pernah konyol mengakui bahwa ia menyukai Kinan, tapi itu dulu, usia SMP. Sekarang, ingat jika Pak Jo punya anak perempuan pun agaknya Aden nggak sama sekali—sebelum malam itu melihat Kinan lagi disana.
Well, Aden akan tetap meneruskan rencananya menikahi Kinan—persetan dengan perkara tiga bulan yang ia katakan secara spontan—sambil menyusun penyelesaian untuk kasusnya bersama Pak Poco dan Saka.
-
Perempuan berbaju hitam dengan aksen putih itu dengan riang melewati stand kopi yang sebelumnya ia sambangi setelah memesan satu gelas americano. Waktu makan siang masih tersisa kurang lebih setengah jam, sebelum kembali masuk dan menyelesaikan yang perlu diselesaikan.
Itu Jannah, perempuan dengan makeup tipis itu bergerak dengan santai memasuki kubikelnya. Meletakkan ice americanonya disana, lantas membuka kotak bekal yang sudah repot ia siapkan sejak pagi hari. Sebelum sempat membuka tutup kotak bekalnya yang kedua, Jannah keburu dikagetkan dengan kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja mendudukkan dirinya disamping perempuan itu.
"Hai, Jan ..."
"Astagfirullah! Mas Gata! Ngagetin aja, sih?!" sungutnya kesal sambil mengusap dada ketika melihat sosok Gata disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saatnya Menikah! [Completed]
Romance[Chapter 23-End dan Extra Part akan terbit di KaryaKarsa @TaeIlss ya!] 'Saatnya' The Series #2 Selama bertahun-tahun bekerja dan hidup di kota besar, Kinan nggak pernah membayangkan untuk kembali ke kampung dan menetap. Namun, kabar yang hari itu ia...