Kinan's
"Jam berapa, ini?"
Aku terbangun kala suara alarm-yang pasti bukan milikku, sepertinya Aden-menyambut dengan nyaring. Kepalaku agak pening, suhu ruangan yang rendah juga menusuk kedalam rongga tubuhku menghantam dengan luar biasa. Dingin menyelinap tanpa permisi, membiarkan aku mengeratkan selimut pada tubuh yang terbuka sambil melirik Aden yang masih sibuk memejamkan matanya disamping. Menggerak-gerakkan tanganku keatas nakas disamping ranjang, ternyata handphone Aden ada di nakas sebelahnya. Pasrah, aku menunggu hingga alarm itu mati dengan mandiri. Sebenarnya aku tipe yang sangat mudah bangun jika sudah mendengar suara yang keras, contohnya alarm. Bahkan, karena suara-suara keras itu aku akhirnya nggak akan bisa tidur lagi.
Sambil memandangi langit kamar Aden, aku sejenak memikirkan kami semalam. Malu jika dibicarakan, tapi akibat inisiatifku yang kelewat mengide, akhirnya semua itu terlewat juga.
Benar-benar, aku nggak membayangkan jika Aden lah orangnya, orang yang pertama dalam hidupku.
Memutar tubuh sedikit ke kiri, kulihat Aden yang tidur menghadap padaku. Setelah semuanya selesai, kami tidur kearah kanan, dalam keadaan Aden yang memelukku. Sekarang, pelukan itu lepas, dan dengan damai Aden menikmati tidurnya. Belum genap satu hari menjadi istrinya, tapi aku sudah merasa malu untuk menatap Aden pagi nanti. Entahlah, antara malu dan sulit menghilangkan bayangan tentang kami, aku hanya ingin kabur dari hadapan Aden.
Persis remaja yang takut bertemu pujaan hatinya.
Nggak tahu berapa lama aku akan mendapatkan keyakinan untuk menyudahi perkara tiga bulan kami, tapi kalau semua yang Aden usahakan selalu dengan hal seperti semalam, kayaknya nggak lama lagi aku benar-benar akan jatuh cinta padanya.
Aden itu lucu, dia nggak semengerikan yang aku bayangkan sebagai sosok pengantin perempuan yang awam-bukan berarti aku nggak paham-tapi dia cukup gentle dan memperlakukanku dengan baik.
Seperti bayanganku, Aden paham semuanya, tapi dia juga tahu jika aku dan dirinya bukan seperti pasangan menikah kebayanyakan. Kami perlu pembiasaan lebih agar rileks dan santai sehingga dia nggak banyak meminta, dia puas dengan apa yang sudah ia dapatkan tanpa menuntut 'lagi.'
Pasti dia nggak mau memberi kesan buruk, atau takutnya aku akan ilfeel dan membuatnya rugi sendiri. Tentunya karena harapan kami sama, tujuan kami juga sama. Agar bisa berlangsung selamanya dan mengubah pandanganku yang terlalu kaku.
Sejujurnya salah satu aku menerima Aden, ya karena tawaran tiga bulan itu. Aku punya sedikit ketakutan dalam kegagalan cinta dimasa lalu, aku juga sedikit risau dengan mindset 'istri yang nggak bekerja, adalah beban suami.' Padahal, jika aku nggak menutup mata dan memahami sebenarnya esensi pernikahan itu seperti apa, ibu bekerja atau hanya di rumah pun sama mulianya. Tetap kembali pada bagaimana dirinya bisa menyeimbangkan antara keluarga dan kesibukan.
Sayangnya, aku bebal. Aku masih menyimpan sedikit trauma, apalagi sekarang bapak sakit dan bayangan soal biaya itu sangat aku pertimbangkan dengan baik.
Tapi ... Aku juga nggak bisa egois jika harus memaksa Aden ikut denganku dan meninggalkan bisnisnya disini.
Dilema, kan? Mangkanya, aku memilih opsi yang Aden tawarkan.
Walau sekarang aku luar biasa ragu, karena jika sudah terikat sejauh ini, bagaimana aku bisa pergi begitu aja melupakan semuanya, kan?
Masih memandangi wajah Aden yang bersih di depanku, napasnya yang berhembus terdengar begitu teratur. Sebelum ini Aden sedikit mendengkur, tapi nggak lama, dan nggak sampai mengganggu. Kayaknya sih dia lelah banget, apalagi bukan hanya acara pernikahan yang merepotkan, tapi juga ingatannya soal sikap Pak Poco dan Saka kemarin pasti memberi dampak yang nggak baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saatnya Menikah! [Completed]
Romantik[Chapter 23-End dan Extra Part akan terbit di KaryaKarsa @TaeIlss ya!] 'Saatnya' The Series #2 Selama bertahun-tahun bekerja dan hidup di kota besar, Kinan nggak pernah membayangkan untuk kembali ke kampung dan menetap. Namun, kabar yang hari itu ia...