Kinan sudah siap dengan koper dan satu ransel besarnya dipunggung. Perempuan itu harus kembali ke kampung halamannya untuk mengurusi bapak yang kemungkinan mengalami lumpuh untuk waktu yang belum bisa dipastikan, akibat tulang ekor kejepit. Kinan bingung setengah mampus setelah mendapat kabar soal ini dari Mbak Mun. Inginnya segera balik. Namun, nyatanya Kinan baru bisa kembali lagi ke kampung setelah menunggu pengajuan cuti selama tujuh hari, pasca hari pertama bapak dikabarkan jatuh. Diantara rasa syukurnya menerima konfirmasi cuti yang ia ajukan untuk tiga bulan kedepan, sisi lainnya, ia merasa kesal dengan kebijakan kantor. Kinan sudah bekerja secara baik selama lebih dari tujuh tahun sebagai arsitek senior dengan title magister dan segudang portofolio. Bahkan kini, ia memiliki jabatan baik dan seorang asisten yang membantu kerjanya. Walau sebenarnya aneh, karena untuk mendapat cuti saja Kinan perlu menunggu lama. Well, bagaimanapun itu kebijakan kantor yang cuma bisa Kinan keluhkan, lalu berakhir nggak lagi ambil pusing karena prioritasnya sekarang hanya bapak yang menunggu di rumah.
Masuk ke dalam kemudi, Kinan mulai tancap gas meninggalkan rumahnya. Kurang lebih tujuh jam mengemudi, Kinan akhirnya tiba di kampung halamannya. Sebuah desa yang sudah lebih dari tiga tahun nggak Kinan sambangi. Dari tempatnya berdiri, perempuan itu menatap rumah tua yang masih berdiri kokoh. Saat hari datangnya kabar kondisi bapak, Kinan langsung berangkat untuk menjenguk beliau yang ternyata belum sadarkan diri. Kinan hanya bisa menemani bapak semalaman, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta esok harinya. Meminta tolong pada Mbak Mun untuk bantu menjaga bapak hingga ia bisa kembali lagi nanti.
Tanpa pikir panjang, Kinan langsung mengambil cuti terlama yang pernah ia minta. Menghabisi seluruh slot cutinya yang belum pernah terpakai tiga tahun terakhir.
Melangkah mantap, Kinan mengetuk pintu sejenak. Konyol sebenarnya, tapi Kinan hanya ingin memastikan apakah bapak masih bangun malam ini, atau justru sudah tidur sehingga nggak menganggu nantinya karena koper yang ditarik akan sangat berisik. Belum sempat mengetuk, Kinan sudah terdistraksi dengan suara bapak yang sangat ia kenal, disusul suara asing seorang laki-laki dengan nada tinggi yang Kinan nggak yakin siapa. Sedikit panik karena ketakutan sesuatu terjadi pada bapak—kemungkinan orang jahat—Kinan langsung melepas pegangannya pada koper, berikut ransel dibahu. Menjatuhkannya begitu saja, membiarkan raganya terbawa jiwa yang ketar-ketik akan keselamatan bapak.
"Bapak!"
"... kira-kira begitu, Pak—"
"Loh?! Adek?!"
Teriakan itu membuat dua orang yang ternyata sedang berbincang di ruang makan mengalihkan pandangan pada Kinan yang bernapas menggebu. Dadanya naik turun, rautnya memerah memancarkan sebuah kepanikan yang justru diartikan lain oleh dua laki-laki di depannya.
Ini cewek kenapa, sih? pikir Aden—laki-laki di depan bapak.
"Bapak nggak apa-apa—eh ..." Kinan mengerjap beberapa kali. Memastikan penglihatannya setelah suara bapak yang berujar kaget melihat kehadirannya disana. Kata-katanya terputus setelah melihat kedua orang itu menatapnya aneh. Bukan hanya bapak, tapi ada seorang lain yang memasang ekspresi kenyitan di dahi, persis seperti bapak.
Sial! Itu Aden!
"Kinan?" suara Aden menjadi yang selanjutnya ia dengar setelah membeku beberapa saat. Bapak seketika tertawa ketika melihatnya yang berantakan karena berlarian dari luar.
"Bapak ngapain sama Aden disini?" tanyanya seraya mendekat kebelakang bapak. Memberi Aden tatapan menyelidik yang membuat laki-laki itu berdiri.
Bapak menyentuh tangan Kinan yang menempel dibahunya itu.
"Aden habis mengantar obat bapak yang ketinggalan di apotik waktu Mbak Mun lupa belum matikan kompor. Jadi langsung buru-buru pulang sampai obatnya ketinggalan. Kamu kenapa teriak-teriak sih, Dek?" Bapak mendongak, menatapnya dari kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saatnya Menikah! [Completed]
Romance[Chapter 23-End dan Extra Part akan terbit di KaryaKarsa @TaeIlss ya!] 'Saatnya' The Series #2 Selama bertahun-tahun bekerja dan hidup di kota besar, Kinan nggak pernah membayangkan untuk kembali ke kampung dan menetap. Namun, kabar yang hari itu ia...