Aden tiba di rumah setelah isya dalam keadaan sedikit lelah sekaligus bingung. Sepanjang perjalanan dia nggak bisa mengenyahkan pikiran dari apa yang udah terjadi antara Mas Mul dan kekejaman Pak Poco pada keluarga laki-laki itu. Ternyata nggak semua hal bisa dibicarakan baik-baik. Aden masih harus memikirkan cara untuk bisa menyelesaikan perkara Pak Poco yang nggak ada habisnya.
Sejujurnya dia udah muak luar biasa pada sosok itu dan sang anak yang sungguh sebelas dua belas, tapi Aden juga paham kekuatan dan backing seperti apa yang Pak Poco kantongi sehingga ia nggak bisa melakukan sesuatu dengan gegabah atau akhirnya malah jadi boomerang untuk dirinya sendiri.
Ia masih harus berdiri kokoh untuk membela warga-warganya yang lain sampai lima tahun kedepan.
Disisi lain, ada sosok Kinan yang tengah sibuk di dapur. Menghangatkan lauk yang dirinya masak siang tadi untuk dijadikan makan malam dengan tambahan lauk sampingan dari makanan beku. Melihat sosok suaminya yang masuk dengan salam berbunyi pelan, kelihatan lesu dan nggak baik-baik aja. Dia sendiri tahu jawaban dari seluruh raut Aden kali ini. Hanya dua alasan, apakah Aden berhasil membela Mas Mul, atau ada hal ajaib lain yang Pak Poco lakukan untuk mengelak dari negosiasi yang sudah suaminya itu lakukan.
"Udah isyaan, Den?" suaranya mulai terdengar, menyapa sang suami yang kini duduk di kursi meja makan sambil memijit pelipis. Menggulung lengan kemejanya sebatas siku, berikut melepas seluruh kancing kemejanya.
"Udah tadi di jalan. Berhenti sebentar di masjid. Baru mau makan malam, Nan? Nggak lapar udah jam segini?" Aden kelihatan melirik jam tangannya lantas kembali menatap Kinan yang kini mendudukkan diri di depannya. "Belum ... Kayak nggak enak gitu makan sendiri. Udah kebiasaan seminggu ini makannya berdua sama kamu, Den." kelakar Kinan membuat Aden tersenyum kecil sambil menunduk. Menyembunyikan reaksi yang membuat telinganya memerah.
Tiba-tiba Kinan menumpu tangannya diatas punggung tangan Aden. Memberi sejurus tatapan yang memaksa suaminya untuk fokus padanya seorang.
"Aku nggak akan tanya apa yang udah terjadi di rumah sakit antara kamu dan Pak Poco, bahkan Mas Mul, tapi aku tahu kalau kamu pasti udah melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang ketua rukun tetangga, bahkan sesama manusia. Pastinya Pak Poco punya seribu satu cara untuk menghancurkan niat baik kamu kan, Den? Nggak masalah, kamu udah ngelakuin yang terbaik. Semangat ya! Jangan lesu kayak gini dong!" ujarnya menyemangati sang suami. Aden yang mendengar itu merasa hatinya melembut.
Tanpa harus bicara, Kinan pasti udah menyimpulkan apa yang terjadi. Selain nggak ingin bertanya, tanpa perlu ditanya pun Kinan pasti paham soal hal yang menyangkut Pak Poco dan ketidaksukaan laki-laki baya itu pada suaminya dan jabatannya sekarang.
"Makasih ya, Nan. Kamu emang the best kalau soal nebak menebak. Apalagi perkara Pak Poco. Khatam banget, kan?" kekeh Aden. Kinan balas terkekeh juga.
"Bikin capek kalau harus dijelaskan ulang. Pokoknya kalau nggak babak belur, berarti negosiasi alot dan gagal, dah gitu aja," Aden tertawa pelan. "Segini kurang nggak nasinya?" tanya perempuan yang kini sudah berdiri disampingnya itu.
Aden mendongak, menatap Kinan dari posisinya yang menyamping. Sebuah ide konyol menyembul dalam pikirannya hingga gerakan impulsif itu muncul. Memberi pelukan berikut menarik istrinya duduk diatas pangkuan. Kinan yang masih memegang centong nasi reflek menjatuhkannya. Terkesiap kaget dengan aksi selanjutnya ketika Aden dengan cepat malah membaui lehernya juga.
"ADEN! Aduh, aduh, geli Den!" perempuan itu kegelian. Berusaha menyingkirkan kepala Aden yang terus bergerak di sekitar lehernya. Sesekali ia tertawa, tapi Aden seolah nggak peduli dengan gerakannya itu. Hingga suara ponselnya yang diletakkan diatas kulkas berdering nyaring, tepat menginterupsi seluruh aksi tiba-tiba suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saatnya Menikah! [Completed]
Romance[Chapter 23-End dan Extra Part akan terbit di KaryaKarsa @TaeIlss ya!] 'Saatnya' The Series #2 Selama bertahun-tahun bekerja dan hidup di kota besar, Kinan nggak pernah membayangkan untuk kembali ke kampung dan menetap. Namun, kabar yang hari itu ia...