Sudah satu minggu sejak Kinan kembali menempati rumahnya di kampung. Menjadi orang kota temporer nggak melulu menyenangkan, walau cara kerja seluruh hal terasa lebih mudah disana, tapi Kinan tetap memilih kampung untuk urusan ketenangan jiwa. Hawa sejuk yang masih bisa ia cari, bunyi ayam berkokok ketika menyongsong pagi, bahkan suara toa masjid yang keras bukan hanya saat waktu sholat, tapi juga ketika ada pemberitahuan tertentu. Semua hal tentang kampung halamannya memang terbaik.
Namanya aja cuti, tapi dia masih harus mengerjakan rancangan bangunan yang masih on-progress maupun laporan kerja yang baru masuk, walau dengan waktu yang emang lebih fleksible. Kinan sendiri pribadi yang cakap, selain dalam bekerja, juga dalam urusan rumah tangga. Kebiasaan itu tumbuh sejak ia masih kecil dimana hal tersebut diajarkan oleh sang ibu. Kinan bersyukur, walau ibu sudah tiada, ilmu yang beliau berikan sangat bermanfaat dan masih membekas jelas dalam ingatan.
Ah ... Dia mendadak rindu ibu.
Masih mengaduk sayur diatas panci, tahu-tahu Kinan mendengar suara bruk keras dari arah kamar. Terkesiap, perempuan itu segera berlari kearah sumber suara. Dilihatnya ke arah kamar, disana bapak tampak tergeletak nggak berdaya dengan kepala mengeluarkan darah dalam posisi jatuh dari atas kursi rodanya.
Sepertinya bapak menabrak ujung siku meja kerjanya.
"Bapak!" teriak Kinan dengan cepat hendak mengangkat bapak ke atasan ranjang. Perempuan itu berusaha sekuat tenaganya untuk mengangkat bapak, tapi nihil. Bapak hanya bergeser sedikit, dirinya masih nggak mampu mengangkat ke atas ranjang.
"Pak! Bapak?! Bapak dengar suara Kinan?!" katanya berusaha memanggil-manggil bapak sekali lagi. Nggak ada suara yang keluar dari bibir bapak, laki-laki kesayangannya itu sepertinya pingsan.
Berpikir untuk membawa bapak ke rumah sakit, Kinan kemudian mencari ide untuk membawa bapak naik ke mobil. Dia benar-benar nggak kuat untuk mengangkat bapak yang bertubuh subur, dibandingkan dirinya yang kecil.
Berlarian keluar rumah, Kinan lihat area jalan begitu sepi. Sudah hampir menjelang waktu maghrib sehingga sebagian besar warga pasti sudah masuk ke rumah mereka masing-masing. Bingung ingin meminta tolong pada siapa, satu ide muncul di dalam pikirannya.
Aden ...
Ya, ada baiknya ia meminta tolong pada Aden untuk urusan ini. Mempercepat langkahnya, perempuan itu tiba di kediaman Aden yang nggak begitu jauh dari rumahnya. Dilihatnya Aden baru saja keluar dari rumah dengan setelan koko dan sarung, serta sajadah yang disampirkan di bahu. Sepertinya Aden mau ke masjid.
"Den!" panggil Kinan agak keras. Perempuan itu sedikit menunduk, mengatur olah napasnya yang menggebu setelah berlarian dari arah rumah.
"Kinan? Kenapa, Nan?" Aden tampak kaget ketika menyadari kehadiran Kinan disana. Perempuan itu mendekat. "Bapakku pingsan, Den. Bisa minta tolong untuk bantu angkat bapak ke mobil? Aku nggak kuat."
"Pingsan? Oke, oke, ayo ..." tanpa pikir panjang, Aden langsung menyusul Kinan yang berlarian lebih dulu di depannya. Mereka tiba di rumah, Aden segera menuju kamar bapak seraya mengangkat laki-laki kesayangan Kinan itu untuk duduk kembali di kursi rodanya.
"Kenapa bisa pingsan, Nan?" tanya Aden ketika mereka telah membawa bapak masuk ke dalam mobil Kinan.
"Aku nggak tahu. Tadi aku lagi masak di dapur, kayaknya bapak mau naik ke ranjang tapi gagal, akhirnya nabrak siku meja kerja trus kebentur dan jatuh, Den. Kayaknya karena itu bapak pingsan."
"Oke, biar aku yang bawa mobilnya—"
"Eh—"
"Mana kunci mobilnya, Nan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Saatnya Menikah! [Completed]
Romance[Chapter 23-End dan Extra Part akan terbit di KaryaKarsa @TaeIlss ya!] 'Saatnya' The Series #2 Selama bertahun-tahun bekerja dan hidup di kota besar, Kinan nggak pernah membayangkan untuk kembali ke kampung dan menetap. Namun, kabar yang hari itu ia...