Kinan's
"... biar Mbak Mun yang selesaikan saja, Mbak Kinan, jangan dikerjakan lagi. Mau jadi pusat acara kok capek-capek di dapur segala? Dah, sini ..."
"Nggak apa-apa Mbak Mun, aku nggak bisa diam aja soalnya. Oh iya, panggil Kinan aja lah, Mbak, kayak dulu waktu kecil."
"Ah, Mbak Mun nggak enak sebenarnya. Ya udah kalau kamu maunya begitu, tapi betul, Nan, diam saja di kamar. Sebentar lagi Aden dan rombongannya kan datang."
"Oke Mbak, kalau gitu aku ke kamar dulu ya. Siap-siap sama dandan sedikit."
"Iya."
Aku menampakkan senyum kedepan Mbak Mun sebelum akhirnya melangkah menuju kamar. Hari yang sebenarnya nggak pernah ada dalam bayanganku ketika kembali pulang ke kampung untuk niat awal menemani bapak yang sakit. Seperti kata Mbak Mun, hari ini Aden dan beberapa kerabatnya akan datang kerumah untuk melamarku.
Ah ... Melamar.
Rasanya benar-benar nggak bisa membuatku untuk percaya. Seluruh hal ini seolah terencana begitu saja, terasa mulus dan tanpa masalah—tentunya setelah masa memutuskan menerima—hingga kini tiba pada masa Aden meminta untuk menikahiku secara resmi pada bapak. Sejujurnya, beberapa waktu setelah keputusan yang aku utarakan pada Aden dengan menerimanya, pemikiranku melanlang buana sampai pada akhirnya bermuara pada hal yang berkaitan dengan bapak. Ya, setelah dipikir-pikir, menikahi Aden mungkin nggak buruk. Untuk perkara dua bulan setelah ini akan aku pikirkan nanti, terpenting, setelah lamaran dan pernikahan, akan ada sosok lain yang bisa membantuku menemani mengurus bapak. Karena bapak masih harus beberapa kali ke rumah sakit untuk fisioterapi. Dengan adanya Aden di sisiku, setidaknya ada hal yang baik menyangkut bapak, bukan hanya untuk keuntungan kami berdua, tapi terutama bapak.
Saat tengah memulas lipstick keatas bibirku, notifikasi pesan tahu-tahu muncul di layar ponsel. Dari nomor yang nggak aku kenal—tunggu ...
Siapa ini?
'Pagi yang cerah untuk sekadar menyapa indahnya sosok ciptaan tuhan setelah beberapa tahun. Apa kabar, Nan?'
Aku mengernyitkan alis begitu membaca pesan tersebut. Sebentar, bukankah ini terdengar sedikit menggelikan? Maksudku, basa-basi jenis apa ini?
Seingatku, nggak ada teman yang biasanya menyapa seperti ini. Kalau pun ada, nggak semua orang, dan tentunya memiliki kedekatan yang intens denganku—aku tahu satu orang yang jelas sepert ini selama aku mengenalnya.
Apa ini Mas Gata? Dia suka sekali dengan kata-kata yang mengunsur pada puisi tiap kali berbicara padaku semasa kami pacaran dulu.
Segera aku membalas pesan tersebut tanpa pikir panjang langsung menyebut nama 'Mas Gata' dalam kata-kataku.
'Mas Gata kah, ini?'
Beberapa menit, nggak ada jawaban yang aku terima. Coba mengenyampingkan pemikiranku yang bisa aja salah, aku meneruskan makeupku sedikit lagi. Beranjak dari depan meja rias, lantas meraih baju yang akan aku kenakan hari ini.
Dress sebatas betis dengan rambut yang aku urai dan catok sedikit.
Jika benar itu Mas Gata, untuk apa dia menghubungiku lagi? Bukankah sudah Jannah tegaskan soal aku yang enggan berhubungan dengannya lagi?
---
"... terima kasih Bu Redo, mohon doanya, ya ..."
"Sama-sama Mbak Kinan, semoga lancar sampai hari-h ya ..."
"Amin, terima kasih sekali lagi ya, Bu."
Setelah kedatangan Aden kurang lebih dua jam lalu dengan membawa beberapa kerabatnya berikut tetangga yang ia rasa dekat, beberapa tamu itu satu persatu mulai meninggalkan kediamanku. Aden sih sibuk membantu merapihkan rumah, menggulung tikar, dan membawa beberapa piring masuk ke dapur. Aku sendiri dimintanya untuk tetap menyapa para warga yang hadir karena menurut Aden, kesan yang baik dariku akan menjadi awal baik bagi dirinya sendiri maupun kami ketika sudah menikah nanti. Hal ini tentunya nggak terlepas dari pandangan orang lain soal perempuan yang bertahun-tahun merantau ke kota sendirian, dan akhirnya kembali ke kampung. Menurut Aden, kadang-kadang hal ini menjadi buah bibir. Walau bukan tertuju padaku langsung, tapi dari beberapa kejadian yang pernah ia temui, hal seperti ini benar-benar wajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saatnya Menikah! [Completed]
Romance[Chapter 23-End dan Extra Part akan terbit di KaryaKarsa @TaeIlss ya!] 'Saatnya' The Series #2 Selama bertahun-tahun bekerja dan hidup di kota besar, Kinan nggak pernah membayangkan untuk kembali ke kampung dan menetap. Namun, kabar yang hari itu ia...