"Dek, bangun ... subuhan dulu."
"Eng ... Sudah pagi, Pak?"
"Subuhan dulu, Dek. Sudah jam berapa ini? Kelewatan nanti kamu."
Kinan berkali-kali mengerjapkan matanya ketika cahaya lampu kamar menyerang dengan ganas. Ah, tidur setelah perjalanan yang panjang dari kota hingga ke kampung kemarin membuat sekujur tubuhnya seperti dikeroyok. Remuk redam dengan sedikit nyeri di beberapa titik.
Jam berapa ini?
"Jam berapa, Pak?"
"Setengah enam, Dek! Aduh, telat betul ini kamu! Sana cepat siap-siap... Bapak udah selesai dari tadi, kamu baru mau mulai." bapak tampak menggeleng nggak percaya. Menatap putri satu-satunya bangkit dari ranjang. "Kamu selalu kesiangan seperti ini saat tinggal di kost, ya? Jangan dibiasakan, Dek. Ibadah itu penting, jangan sampai kelewatan."
"Iya Pak, nggak kok. Ini kayaknya karena kemarin aku kelelahan nyetir dari Jakarta sampai kampung. Mangkanya kebablasan. Ya udah, aku ke kamar mandi dulu ya, Pak."
Kinan keluar dari kamar, memasuki kamar mandi lantas mengerjakan ibadah sebelum waktu pagi menyambut sebentar lagi. Selesai melaksanakan ibadah, perempuan itu bergerak ke dapur. Melihat bapak yang tengah membuat kopi. Laki-laki baya tersebut kelihatan kesulitan ketika harus mengangkat termos diatas meja.
"Biar Kinan aja, Pak. Bapak tunggu di depan aja, ya."
"Nggak apa-apa, Bapak bisa, Dek. Kamu mau juga? Bapak buatkan, ya?"
"Bapak ih! Ini bapak aja kesulitan angkat termosnya tahu! Biar Kinan aja, deh. Bapak tunggu di depan, ya? Dua sendok kopi, satu sendok gula, kan? Oke, Kinan ingat."
Bapak tampak tertawa. Memperhatikan gerakannya menuang air panas ke dalam gelas.
"Ternyata kamu masih ingat kesukaan bapak, ya? Bapak pikir kamu yang jarang pulang ini sudah melupakan seluruh hal tentang bapak di kampung."
Kinan mendelik. "Mana ada? Bapak akan selalu jadi yang Kinan ingat lebih dari apapun. Kenapa sih bapak bawaannya suudzon aja sama aku? Masih mempermasalahkan perkara tiga tahun nggak pulang? Bapak nih!" keluh Kinan seraya menampakkan wajah cemberut. Bapak yang duduk di kursi roda tepat di sampingnya berdiri mencubit lengan Kinan.
"Kamu jangan sedikit-sedikit marah, Dek. Apa-apa jangan dibuat kesal, dibuat jadi perkara. Bapak begini kan karena senang, ternyata putri bapak masih sayang dan ingat sama orang tuanya." terang bapak membuat Kinan menatap laki-laki baya itu dengan senyum.
Bapak selalu menjadi sosok yang ingin ia senangi setelah kepergian ibu dan kakak laki-lakinya. Kinan nggak berpikir siapapun akan menggantikan kecintaannya pada sosok orang tersayangnya itu. Hingga kini, semuanya akan kalah dengan kepentingan bapak. Semuanya akan ia lakukan demi bapak. Bahkan jika akhirnya ia harus berhenti bekerja. Kinan bisa mengerjakan pekerjaan lain di luar pekerjaannya sekarang, tapi kebahagiaan bapak dan rasa aman yang bisa ia berikan nggak akan terganti dengan apapun.
Pulang ke kampung dan kembali menetap memang nggak pernah masuk dalam bayangannya setelah tujuh tahun lamanya merantau ke kota, tapi kali ini bukan hanya sekadar pulang, melainkan bapak membutuhkan kehadirannya walau orang tua itu sering kali merasa jika beliau mampu melakukannya sendiri.
Itu pula yang kerap membuat Kinan kesal bukan main.
"Iya lah, Kinan memangnya punya siapa lagi selain Bapak, kan? Mangkanya, Bapak mesti sehat terus, umur panjang, jangan aneh-aneh kalau sudah begini kondisinya. Ya, Pak?" titah Kinan membuat bapak mengangguk pelan. Laki-laki kesayangannya itu kemudian pamit untuk menghirup udara segar di teras rumah. Selagi membuat kopi, Kinan mengingat soal isi kulkas yang kosong semalam. Sepertinya ia harus belanja untuk makan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saatnya Menikah! [Completed]
Romance[Chapter 23-End dan Extra Part akan terbit di KaryaKarsa @TaeIlss ya!] 'Saatnya' The Series #2 Selama bertahun-tahun bekerja dan hidup di kota besar, Kinan nggak pernah membayangkan untuk kembali ke kampung dan menetap. Namun, kabar yang hari itu ia...