Lamaran Diterima! [10]

783 119 1
                                    

"... Aku serius, Nan ..."

"Den, aku nggak bisa, aku juga serius. Kenapa nggak yang lain?"

"Aku ... Aku merasa cocok sama kamu, aku juga yakin kamu pasti mau bantu soal ini."

"Pernikahan terjadi bukan hanya karena tuntutan Den, bukan juga perkara balas dendam. Aku mau menikah hanya sekali seumur hidup. nggak bisa jadi alasan untukku menikah karena hal diluar keinginan ibadah dan tujuan hidup berkah. Aku sudah bukan anak-anak, usiaku sudah matang bahkan hanya untuk menunda punya anak. Aku nggak bisa, sorry—"

"Oke, kalau nggak salah, kamu hanya disini selama tiga bulan, kan? Kita menikah dulu, kamu bantu aku, dan kalau selama tiga bulan nggak ada kecocokan, baik aku sama kamu nggak bisa yakin soal perasaan masing-masing—cinta, dan lainnya, kita bisa pertimbangkan untuk berhenti. Aku nggak akan menghalangi kamu pergi kembali ke kota, tapi kalau ternyata kita punya perasaan yang sama, kamu boleh pilih untuk tetap sama aku disini atau kembali ke kota dan aku akan usahakan untuk ikut kamu. Ini tetap akan jadi ibadah kok, Nan. Aku juga mau menikah sekali seumur hidup, tapi aku juga punya keadaan yang akan lebih baik ketika aku sudah menikah. Terlepas kepentingan banyak orang, ini tetap akan jadi hal yang baik kalau aku bisa perjuangkan status perkawinanku sebagai ketua RT. Tolong, Nan? Pertimbangkan tawaranku."

Kinan menggigit bibirnya ragu kala siang hari ketika perempuan itu mampir ke salah satu minimarket di dekat jalan besar, ia nggak sengaja bertemu dengan Aden disana. Baru akan menaiki motor milik bapak untuk pulang, Aden yang juga datang dengan motor, menahannya. Mengajak Kinan untuk bicara sebentar. Tentunya pembicaraan yang nggak jauh dari apa yang ia ajukan beberapa hari lalu.

Bahkan belum genap satu minggu, tapi Aden sudah kembali lagi dan kini benar-benar memohon padanya untuk menikahinya.

Kinan bingung setengah mati. Keinginannya kokoh untuk menolak Aden. Walau tadi pagi, bapak yang mengajaknya bicara soal hal ini kelihatan punya tujuan yang sama dengan Aden, berharap Kinan mau menerima laki-laki itu. Kinan nggak perlu menjelekkan Aden hanya untuk menolak, tapi perasaan nggak yakin—bahkan dia nggak punya perasaan apapun pada Aden—akan sangat sulit membuatnya bisa mempertimbangkan sekalipun. Dia berdiri diantara kegalauan soal karir, bapak dan bahkan diam-diam terbayang soal Gata. Kinan memang nggak menginginkan untuk kembali bersama Gata, tapi dari cerita Jannah, Gata seolah masih berharap padanya. Perlahan hal itu membuat Kinan kepikiran juga.
Tapi Aden ... Jangankan suka, terpikir membersamainya aja nggak pernah. Aden orang baik, menurut Kinan lebih bagus jika dia punya pendamping yang bisa mengerti dan benar-benar mau membantunya dalam hal ini. Aden sudah menceritakan semuanya secara detail—lagi—perkara apa saja yang sudah terlalu larut dilakukan Pak Poco dan Saka. Kinan kaget sih, tapi dia hanya merasa cukup dengan simpati, bukan seperti apa yang Aden inginkan sekarang.

"Den, kalau kamu berpikir aku orang yang baik, bahkan mungkin lebih dari baik, entah itu dermawan lah, bijak, aku nggak kayak gitu Den. Aku hanya orang biasa, kamu nggak bisa berharap apa-apa sama aku, bahkan soal cinta, aku ragu bisa mendatangkan itu dalam hubungan kita, terlepas tujuan baik kamu yang lain." ujar Kinan lantas menatap kearah berlawanan dari Aden. Kini mereka tengah duduk di kursi panjang luar warkop depan minimarket—Aden mengajaknya kesana.

Laki-laki itu mengangguk. Mengerti kemana arah pembicaraan Kinan. Benar, menikah memang bukan hanya perkara tinggal bersama, bayangan hidup bahagia, apalagi Aden juga memiliki tujuan sendiri dengan niatnya ini. Jujur, Aden sedikit merasa kepepet, tapi pilihannya jatuh pada Kinan pun karena ada sedikit ketertarikan ketika menatap perempuan itu.

Aden bukannya memberi ekspektasi besar pada Kinan, tapi entah darimana keyakinan itu datang, dia merasa Kinan lah orang yang paling tepat untuk berdiri mendampinginya.

Walau ternyata nggak semudah itu. Aden ngerti, Kinan pasti punya banyak pertimbangan, apalagi perempuan itu bukan orang sembarangan. Dia pribadi terpelajar yang pastinya paham perkara seperti ini. Mereka pun sudah matang dalam segi usia, pastinya lebih selektif dalam memutuskan suatu hal.

Saatnya Menikah! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang