Pesona Kinan [7]

700 122 0
                                    

"... nggak apa-apa Pak Jo. Terpenting masih bisa sembuh dan kitanya terus usaha untuk kembali seperti semula. Asal nurut aja lah sama dokter."

"Iya pak."

Sorot yang bapak berikan pada dua laki-laki di depannya nggak begitu membuat Kinan khawatir. Pasalnya, kedatangan Pak Poco yang tiba-tiba siang ini, membuatnya sedikit kaget. Berbekal parcel buah dan sebotol jamu khas yang katanya baik untuk pemulihan tulang ekor kejepit, kedua orang itu datang menjenguk. Dua orang, karena Pak Poco nggak sendiri. Laki-laki berusia kisaran enam puluhan itu datang bersama Saka, putranya yang dalam benak Kinan masih memberikan sedikit ketidaknyamanan. Laki-laki itu nggak banyak menginterupsi pembicaraan para orang tua, walau kelihatan antusias ketika melihat Kinan. Sama seperti Saka, Kinan juga sedikit nggak menyangka setelah melihat Saka secara langsung. Secara penampilan, jelas dia berubah jauh sejak terakhir kali Kinan melihatnya sebelum merantau dan kuliah di kota lain. Berbeda dengan Aden yang nggak banyak berubah secara penampilan—kecuali tubuhnya yang kelihatan lebih atletis—Saka banyak berubah. Nggak lagi mengenakan kacamata tebal, bahkan model rambutnya mulai kekinian. Jelas, Saka yang ia tahu pernah bekerja sebagai karyawan di salah satu bank pastinya mengharuskan laki-laki itu berpenampilan rapi dan necis. Selain itu, dia pasti melakukan beberapa perawatan untuk mengubah image 'culunnya' di masa lalu. Sebagai orang yang pernah tahu tentang bagaimana masa lalu kedua laki-laki di depannya ini, Kinan akui Saka lah yang paling berbeda.

Namun, ingatan soal cerita bapak tempo hari sejenak membuatnya merasa sedikit antipati. Bukan takut berlebihan, karena Kinan nggak pernah menjadi saksi mata soal apa yang sebenarnya terjadi di kampung ini pasca kedatangannya. Dia hanya tahu jika ada masalah yang berkaitan dengan Pak Poco dan Saka berdasarkan cerita bapak, juga Aden, menurut penjelasan Rina. Dari sorot matanya, Kinan dapat melihat Aden yang berdiri dengan gusar di dekat ujung ranjang, sementara Pak Poco dan Saka berada tepat di sampingnya, sebelah kanan bapak. Pembicaraan kedua orang tua itu sesekali membuat Kinan ikut menjawab, walau dia nggak mau terlalu menimpali atau akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang mungkin nggak ingin ia dengar.

"... begitulah, berhubung sekarang Saka emang berpengalaman, kami jadi yakin kalau bisnis peminjaman uang cepat yang udah berjalan setahun belakangan ini akan semakin jaya. Kalau Pak Jo berminat untuk ikut pinjam, misalkan ada sawah yang dijual dan pengin beli, boleh bicara sama Saka langsung. Biar nanti kami bantu uruskan."

"Waduh, kayaknya nggak dulu, Pak. Berhubung cuma tinggal sendiri, bantu-bantu disawahnya Bu Jumi kayaknya sudah cukup. Itu juga kan saya untuk mengisi waktu aja." sahut bapak hati-hati.

"Iya, ya ... Nggak masalah. Mungkin lain kali."

"Pak Jo, Kinan, Pak Poco dan Saka, saya izin pamit, ya. Masih ada keperluan yang mesti diurus di toko. Tadi juga ada janji sama beberapa warga yang rencana mau minta SKTM buat pengajuan bantuan dana ke kelurahan—"

"Buru-buru banget, Den? Bukannya Wildan tangan kanan kamu, ya? Aku lihat ada Djiwa juga disana. Harusnya sih nggak seberapa repot ya, apalagi kamu juga belum punya keluarga, ya Pak." sahut Saka melirik Pak Poco, lalu beralih menatap Aden dengan senyuman miring yang membuat Kinan ikut melihat ke arah laki-laki yang kini tampak nggak nyaman itu.

Aden, dia seolah nggak bisa lagi menahan perasaan untuk segera pergi dari sana. Kinan akhirnya paham jika sebenarnya masalah yang Rina ceritakan hari itu pasti besar. Apalagi mendengar respon Saka yang menyindir Aden dan latar belakangnya.

Aden nggak menjawab, dia hanya melempar senyum tipis ke arah bapak, begitupun pada Pak Poco yang sudah memperhatikannya dengan cengiran tanpa bicara.

Jika Aden masih diam aja, harga dirinya akan benar-benar jatuh di depan muka karena perkataan Saka barusan.

"Aden sudah dari pagi disini loh, Pak Poco. Emang ketua RT kita ini patut diacungi jempol perhatian sama warganya. Ya, Pak?" Kinan merujuk pada bapak yang masih berbaring. Laki-laki baya itu menjawab dengan anggukan. "Antara rajin dan nggak ada kerjaan jadi kelihatan bias ya, Den." kelakar Saka yang bagi Kinan udah sangat nggak sehat untuk di dengar. Takut akan ada keributan karena Aden memilih diam, Kinan lantas bergerak ke arah pintu. Berlagak melihat jam di handphonenya seraya berujar ke arah Pak Poco dan Saka.

"Sudah mau jam tiga sore ya, Pak? Waktunya minum obat, habis ini ners datang kayaknya." ujar Kinan. Sebenarnya dia sedikit berbohong soal minum obat karena bapak baru aja minum obat sebelum Pak Poco dan Saka datang. Bapak yang berbaring memilih diam, agaknya beliau pun paham apa yang Kinan maksud barusan.

Pak Poco kelihatan menyadari sesuatu, lantas berpamitan dengan bapak, disusul Saka yang juga berpamitan pada Kinan.

"... iya, terima kasih sudah menjenguk Pak Poco."

"Sama-sama Mbak Kinan, kami pamit dulu. Permisi ..."

Kinan refleks menarik Aden menghindari dari pintu. Membiarkan Pak Poco dan Saka untuk keluar tanpa terganggu.

Selepas kepergian dua orang itu, bapak berkata pada Kinan jika beliau ingin istirahat sebentar. Efek obat bapak pasti mulai bekerja sehingga beliau merasa ngantuk.

"Ya udah Pak, Kinan keluar dulu, ya."

"Iya. Den, tolong temani Kinan sebentar ya."

"Iya, Pak."

Keduanya keluar setelah bapak  berbaring membelakangi arah pintu. Aden yang sudah tiba lebih dulu tampak berdeham, disusul Kinan yang mulai membuka suaranya lagi.

"Sorry, seharusnya aku nggak biarkan Pak Poco sama Saka masuk ke ruangan bapak tadi. Kamu pasti nggak nyaman ya, Den?" tegur Kinan melihat Aden memandang kearah lain.

Aden menggeleng. "Nggak apa-apa, bukan salah kamu kok, Nan."

"Tenang aja Den, aku tahu kok apa yang sebenarnya terjadi. Saka kelihatan berubah banget, ya? Makin berani dia sekarang."

"Kamu ... tahu soal apa, Nan?"

Kinan memandangi Aden dengan senyum. Laki-laki itu tampak gelagapan, mengalihkan pandangannya kearah lain. "Aku tahu soal kasus kamu dan Saka. Tenang, informanku ini jelas dan terpercaya. Salah satunya bapak, dan yang lainnya, aku rahasiakan, ya? Bapak cerita sama aku soal pemilihan ketua RT yang akhirnya kamu menangkan. Katanya agak-agak dramatis ya, Den?" kelakar Kinan. 

Aden kembali menatap perempuan itu. "Dibilang dramatis juga nggak, tapi ini lebih kepada niat sebenarnya Pak Poco mau memenangkan Saka. Berhubung beliau sudah menjabat lebih dari lima belas tahun, yang sebetulnya maksimal hanya sepuluh tahun, dua periode, dia menurunkan itu ke Saka. Pak Poco minta Saka pulang dari perantauan awalnya untuk buka usaha, yang mana sebenarnya nggak bisa juga disebut usaha karena apa yang Saka lakukan justru merugikan warga sekitar. Dia bisnis bank keliling, Nan, beralibi membantu warga yang kekurangan dana membajak sawah dan peternakan. Padahal, lebih seperti memeras dengan memasang bunga besar, hampir setengah dari jumlah pinjaman. Awalnya belum kelihatan, karena Saka sedang mencari simpati warga untuk memenangkan pemilihan ketua RT. Pak Jo pasti cerita kalau sebenarnya bukan aku kandidat awalnya, tapi Pakde Jumadi, orang yang masih kerabat denganku walau beliau meninggal mendadak karena serangan jantung. Singkat cerita, sampailah pada pemilihan ketua RT dan Saka kalah karena waktu itu satu hari sebelum pemilihan, ada yang mengeluhkan soal pinjaman dan menjadikannya isu buruk di antara warga wilayah RT kita. Begitulah, sampai sekarang Saka jadi menyimpan dendam dan seolah pengin menjatuhkan posisiku." terang Aden panjang.

Kinan mengangguk mendengar penjelasan laki-laki di depannya ini. Benar, Saka dengan jelas menunjukkan keangkuhannya ketika menyindir Aden tadi.

"Seharusnya kamu juga jangan diam aja, Den. Seenggaknya balas lah Saka dengan cara yang elegan. Sindir dia balik, bukan diam aja begini. Kayak nggak punya usaha buat mempertahankan harga diri, deh." keluh Kinan menatap Aden dengan sebal.

Diam-diam Aden tersenyum. Komentar Kinan barusan bukan terdengar seperti sesuatu hal yang menyebalkan, Aden malah merasa jika Kinan sepertinya simpati dengan apa yang terjadi padanya.

Setelah bertahun-tahun hidup di kota orang, Aden akui kemampuan bertahan hidup Kinan pasti sangat baik. Dari bagaimana cara ia membalas perkataan Saka seolah membela Aden, dan kini, caranya mengeluhkan sikap diam Aden yang dinilai lemah dan nggak memikirkan harga diri.

Kinan benar-benar semakin menarik dimata Aden.

Tiba-tiba sebuah ide muncul dipikirannya.

-

Saatnya Menikah! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang