Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu tampak gusar memutari meja kerjanya disalah satu ruangan. Sesekali melirik ponselnya yang tergeletak di meja, bergantian dengan jam tangannya di pergelangan.
Pikirannya bertanya-tanya mengapa gerangan sosok perempuan yang masih ia cintai itu belum juga memberi kabar. Ya, Kinan mematikan telepon itu sepihak dua minggu lalu, tapi ketika keesokan hari dirinya mengirim pesan lagi, perempuan itu mengaku akan mengabarinya nanti. Tapi sampai sekarang belum ada apapun yang bisa ia terima darinya.
Gata sebenarnya kesal bukan main, tapi dia juga nggak bisa terkesan meneror Kinan. Agaknya pun perempuan itu bukannya nggak ingin menghubunginya, tapi pasti ada sesuatu yang membuatnya terpaksa melakukan itu.
Walau mengaku nggak memiliki lagi perasaan, Gata yakin Kinan tetap mau kembali padanya karena saat ini perempuan itu masih sendiri. Baginya, perasaan itu bisa tumbuh kembali jika dipupuk dengan benar. Gata ingat bagaimana ekspresinya yang selalu penuh cinta kala mereka masih menikmati beberapa waktu bersama. Memang sangat sulit untuk membuat semuanya baik-baik aja tanpa dicurigai siapapun, termasuk mantan istrinya yang saat itu masih berstatus istri. Pernikahan akibat dijodohkan itu nggak memberi Gata banyak kesan untuk bisa menumbuhkan cinta pada sang istri yang katanya sangat perfect. Baginya, Kinan yang saat awal bekerja dianggap anak 'kampung' itu mampu membalikan sudut pandang bahwa dia adalah perempuan yang punya kualitas, bukan dari bagaimana latar belakangnya.
Sosok perfect yang ada di matanya hanyalah Kinan.
Hatinya sulit mengganti cinta itu. Harapan besar untuk bisa menyelesaikan apa yang selama ini nggak bisa ia wujudkan saat masih berstatus suami.
Memiliki Kinan seutuhnya.
Ketukan dipintu membuatnya menoleh. Melirik kearah Lana yang menyapa dengan sopan. "Permisi Pak Gata, ada Mas Ebe dan Mbak Jannah dari cabang pusat. Menunggu bapak di ruangan rapat."
"Oh, oke Lan. Thanks ya, nanti saya kesana."
"Siap Pak."
Mendengar asistennya barusan menyebut nama Jannah, laki-laki itu mendadak terpikirkan sesuatu.
Sepertinya ini jalan yang terbaik.
🤍🤍🤍
"... gini ya, Mas?"
"Iya Bu, diisi begitu aja. Nanti saya yang isi kop atasnya."
"Mas, ini diisi nama anak saya dulu, baru saya, kan?"
"Iya, betul, Bu. KTP anaknya dibawa, kan? Kebutuhannya beasiswa?"
"Iya, buat beasiswa."
Aden mengangguk mengerti sambil menumpuk kembali beberapa kertas yang baru aja ia keluarkan dari dalam map. Pagi-pagi udah ada dua ibu dari wilayah RT-nya yang datang untuk meminta surat keterangan tidak mampu. Beginilah biasanya kegiatan Aden disamping menjaga toko, mengawasi keluar masuk beras, bahkan sebagai seorang suami baru. Pekerjaan-pekerjaan ini perlahan menjadi hobi barunya. Terbiasa dengan banyak orang sejak hidup sendiri menjadikan Aden mudah bergaul dan cepat beradaptasi. Terutama berinteraksi dengan warga desa yang sudah Aden anggap seperti keluarganya sendiri. Bahkan, Aden sedikit khawatir jika harus meninggalkan 'zona nyamannya' sebagai orang desa jika nanti harus tinggal di kota.
Ck ... Kali ini Aden sedang membayangkan itu seolah dia telah mendapat presentase harapan sebesar delapan puluh persen.
Saat masih fokus dengan para ibu, tiba-tiba suara langkah tergesa dari arah dalam membuat Aden menoleh. Dilihatnya Kinan yang udah berpakaian rapi mengenakan dress sebatas lutut serta sling bag tampak terburu-buru menimbulkan pertanyaan Aden.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saatnya Menikah! [Completed]
Romans[Chapter 23-End dan Extra Part akan terbit di KaryaKarsa @TaeIlss ya!] 'Saatnya' The Series #2 Selama bertahun-tahun bekerja dan hidup di kota besar, Kinan nggak pernah membayangkan untuk kembali ke kampung dan menetap. Namun, kabar yang hari itu ia...