Pria Itu Milikku!

331 62 52
                                    

Aulia duduk di sebuah cafe kecil yang ada tidak jauh dari tempat bertemunya dia dengan klien barusan. Klien yang ditemuinya sudah pulang, mereka berdua membicarakan pekerjaan. Sekalian saja, Aulia meminta seseorang untuk datang. Syukurlah, orang tersebut mau datang bertemu dengannya.

"Lia."

"Mbak Miska, silakan duduk." Aulia tersenyum ramah. Sementara dia melihat Miska dalam keadaan lesu. Tubuhnya sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Pipinya agak cekung, dan matanya seperti bengkak habis menangis.

"Hem, ada apa, Lia?" tanya Miska seolah tak ingin berbasa-basi. Kalau bukan karena tidak enak dengan Sean, Miska tidak mau bertemu dengan Aulia. Ya, Miska seperti punya hutang budi dengan dua orang itu. Sean dan Hendery.

"Mbak Miska apa kabar?"

"Baik, gimana dengan kamu?"

"Aku baik, mbak. Waktu itu bukannya mbak Miska bilang ada di Bangkok?"

Miska tersenyum tipis. "Iya, hanya sebentar kok. Aku hanya sekedar menemani Daniel," jawab Miska.

"Oh. Rupanya begitu, aku kira mbak sampai berpamitan dengan Hendery karena akan lama di sana," ucap Aulia.

Raut wajah Miska langsung berubah seketika. "Apa kamu kesal karna aku kembali, Lia?"

Aulia mengekeh geli. "Mana mungkin lah mbak. Ada hak apa aku untuk kesal? Itu hak mbak, juga, kan? Aku hanya sekedar bertanya," jelasnya.

"Em, maaf ya Lia. Apa yang ingin kamu bicarakan denganku hari ini?"

Aulia menarik napas dalam-dalam. Dia yakin dengan tujuannya. Meski dia tidak yakin Miska bisa menerima permintaannya.

"Saya tahu Hendery pernah membantu mbak Miska, dia pernah melakukan donor hati untuk mbak, kan?"

Jantung Miska berdegup kuat saat mendengar perkataan Aulia. Bagaimana perempuan dihadapannya bisa tahu akan hal itu, batinnya bertanya.

"Aku tahu dari Hendery, mbak gak perlu tau kenapa Hendery memberitahu aku. Intinya aku yang mendesak dia agar memberitahu."

"Lia, itu hanya masa lalu." Miska tersenyum ragu.

"Kalau begitu, bisa tidak mbak Miska melupakan saja masa lalu itu? Hendery melakukannya karena dia ingin, dia rela dan ikhlas. Tidak perlu dibahas lagi, merasa tak enak atau berhutang budi."

"Lia ... tapi, mana bisa begitu. Tetap saja itu kebaikan yang tidak ternilai," geleng Miska.

"Lalu, dengan alasan balas budi, lantas mbak Miska memilih tetap merasa tak enak terus. Alih-alih membiarkan hidup Hendery bahagia dengan pilihannya yang sekarang?"

Itulah Aulia, dia selalu terus terang dan tidak suka berbasa-basi. Suka tak suka, baginya dia harus mengatakan. Meskipun yang mendengar mungkin bisa jadi akan membencinya nanti.

Miska langsung terdiam seribu bahasa ketika mendengar ucapan Aulia.

"Aku merasa risi. Bagaimanapun Hendery sekarang dan aku ingin selamanya, dia menjadi suamiku, mbak."

Mata Miska berkaca-kaca. Kalau dipikir bukannya seharusnya Aulia yang bersedih? Tapi ini kebalikannya. Aulia sangat tegar menghadapi wanita yang sudah memuji-muji suaminya. Juga berkata sulit melupakan.

"Mbak Miska sedih, padahal mbak sendiri yang mengatakan tidak ada rasa apa-apa pada Hendery. Lalu kenapa sekarang mbak malah datang lagi?"

"Lia—"

"Maaf aku belum selesai bicara, mbak. Tapi meskipun mbak Miska punya kenangan yang lebih banyak dengan Hendery dibandingkan aku. Tetap saja aku istrinya, aku tidak akan membiarkan mbak Miska merebut suamiku."

Unforgettable NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang