06

1.4K 230 20
                                    

Seperti janjinya, pada pagi hari Bilan mengajak Blue berkeliling.

Anak manis itu mengekor dengan mata berbinar, sesekali Blue akan berceloteh panjang lebar mengenai ini dan itu.

Sejak mengenal Blue beberapa tahun lalu, pria itu telah menyadari bahwa adik Bianca sangat ceria.
Dibalik sikap tenangnya Blue adalah anak manja yang memiliki rasa ingin tau yang besar.

"Jadi kamu mau makan apa?" Bilan menghentikan langkahnya sejenak, menunggu Blue untuk memutuskan.

"Kak Bilan mau makan apa?"

Bukannya menjawab pertanyaan dari calon kakak ipar yang kini menjadi suaminya, Blue justru berbalik dengan pertanyaan yang sama pada Bilan.

"Aku sudah sering ke Jepang dan tidak penasaran lagi. Jadi aku akan mengikuti maumu. Ayo putuskan apa yang akan Blue makan sekarang."

Blue mengetuk alisnya, berpikir keras. Matanya berkeliling pada beberapa kedai yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Blue bingung.."

"Apapun yang kamu mau, ah atau agar lebih mudah, apa yang kamu pikirkan sekarang."

"Blue sedang berpikir soal Kak Bica.." Dengan polos si manis menjawab, membuat pria di depannya menaikan alisnya bingung.

"Ada apa dengan Bianca?"

"Biasanya kak Bica yang akan memutuskan makanan apa yang akan kami makan." Blue terkekeh kecil. "Kalau begitu kak Bilan saja yang putuskan."

"Astaga.." Bilan mengelengkan kepalanya pusing. Ia lalu mencubit pipi bulat Blue tanpa sadar. "Sekarang kau bersamaku Blue. Bukan bersama orang tua atau kakakmu itu. Aku tidak tau seperti apa kamu dibesarkan tapi mulai sekarang jadilah apa yang kamu mau. Memilih makanan yang kamu suka, memilih tempat yang kamu mau kunjungi, kamu berhak."

Blue menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Jadi apa yang kamu mau? Kita tidak akan pergi sebelum kau memutuskan sesuatu."

"Ramen!" Blue menjawab cepat. "Blue mau makan ramen."

"Oke, ayo kita pergi."

Bilan berjalan lebih dulu. Pria itu menuju kedai ramen yang berada di ujung jalan. Sejujurnya Bilan tidak pernah mencoba makan ditempat itu, namun dilihat dari tempatnya sepertinya tidak akan buruk.

Blue terpaku diatas tanah, ia menatap punggung lebar Bilan dengan senyuman terangkat.

Rasanya aneh, untuk pertama kalinya seseorang memberi Blue pilihan dan membiarkannya memilih.

Sejujurnya, itu sangat berarti untuk Blue yang seumur hidup diatur oleh orang disekitarnya.

"Hei! Blue! Ayo!" Bilan sedikit berteriak karena jarak keduanya sudah cukup jauh.

"Eh?" Seolah tersadar dari lamunannya, Blue akhirnya berlari kecil mengejar Bilan. "Sebentar kakak.."

"Kenapa melamun? Kau takut aku menyuruhmu membayar?" Bilan sedikit berkelakar ketika Blue sudah berada didekatnya. Keduanya kini melangkah bersama dengan jarak cukup dekat.

"Blue tidak bawa uang."

"Tidak perlu membawa uang. Kau tanggung jawabku sekarang. Kita sudah menikah bukan?"

Wajah Blue memanas, entah mengapa candaan Bilan membuatnya sulit menarik nafas.

"Astaga, Blue! Kenapa melamun lagi? Sebenarnya kau memikirkan apa?"

"Tidak ada, Blue tidak memikirkan kak Bilan kok."

Bilan terkekeh, pria itu benar-benar merasa gemas pada anak manis yang kini terlihat salah tingkah.

How we parted ways Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang