Zain terus menatap sahabatnya dengan heran, entah apa yang membuat Blue sangat rajin membersihkan seluruh kamarnya.
"Kita akan mulai bekerja nanti malam Blue, apa kamu tidak akan kelelahan?"
"Eh," Blue mengangkat wajahnya dari sprei yang baru setengah jalan dipasangnya. "Tidak, tidak apa. Aku bisa melakukan ini semua."
Zain akhirnya mengangguk saja, pria itu tidak bisa membantu banyak karena ia harus segera pergi ke kampus. "Kalau begitu aku pergi dulu. Kau jangan terlalu memaksakan diri." Tepukan kecil mendarat dikepala Blue.
Lalu si pemilik apartemen beranjak pergi, meninggalkan pria kecil yang mendesah penuh kelegaan. "Syukurlah Zain tidak sadar kalau kasurnya penuh dengan cairanku."
Blue menepuk-nepuk dadanya, pria itu segera membawa cucian untuk dibersihkan. Ia harus menghilangkan jejak sebelum temannya pulang kuliah.
***
Bilan bukan orang sembarangan. Ia kaya dan berpengaruh. Namun sayangnya setelah hampir dua puluh jam, dirinya belum dapat menemukan keberadaan si pria kecil.
Mengandalkan semua koneksinya pun percuma, tidak ada tanda-tanda keberadaan Blue.
"Ke mana kamu Blue.." Bilan menatap layar ponselnya yang menunjukan foto manis pria kecil. "Aku harus mencarimu ke mana lagi? Kamu hilang dari pengawasanku hampir satu hari. Bagaimana kalau terjadi hal buruk padamu?"
Bilan telah berkeliling, mencari si kecil ke tempat-teman yang pernah mereka datangi.
"Kembali Blue, aku tidak akan membuatmu sakit lagi. Aku sudah tahu siapa yang aku pilih. Keputusanku sudah matang. Jadi kembali ya, ku mohon."
Dua puluh jam tanpa Blue adalah neraka yang Bilan ciptakan untuk dirinya. Perasaan takut kehilangan membakarnya, ia telah menjadi abu dalam pikiran-pikiran buruk yang menelusup menuju relung hatinya.
Bagaimana jika Blue terluka?
Bagaimana jika ia memang tidak bisa bertemu pria kecil itu lagi?
Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana lain yang menyesakan dada Bilan.
***
Blue merasa seluruh tubuhnya remuk. Ia berbaring di atas ranjang Zain dengan mata menatap langit-langit kamar.
Setelah selesai mencuci dan menjemur sprei juga selimut Zain, Blue tidak beranjak dari sana. Entah mengapa pekerjaan sederhana itu membuatnya kepayahan.
Kruk kruk kruk
"Huh? Lapar?" Si kecil menepuk-nepuk perut ratanya. Mau tidak mau ia akhirnya harus mengangkat tubuhnya. "Makan apa ya? Hmm apa Zain punya sesuatu untuk dimasak?"
Blue turun dari ranjang, ia menuju dapur yang di sekat oleh tembok. "Tidak ada apa-apa?" Si kecil mendesah kecewa. Tidak ada makanan satu pun dilemari Zain. "Lapar.."
Matanya berkeliling. "Apa minum yang banyak ya?"
Blue hendak mengambil gelas namun kemudian sebuah benda yang ada di atas meja membuatnya berkedip-kedip. "Uang?" Blue mendekat untuk mengambil benda itu. "Uang siapa ini?"
Hi Blue.
Aku tidak punya banyak uang sehingga hanya bisa memberimu sedikit. Belilah makanan lezat, sampai bertemu nanti sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
How we parted ways
FanfictionBlue dan keluarganya harus melakukan kebohongan besar demi menyelamatkan si anak sulung. Kecelakaan yang dialami saudara kembar Blue -Bianca- membuatnya harus rela menggantikan wanita itu untuk menikah dengan pria kaya bernama Bilan Zelgas. Kekasih...