26

1.1K 184 38
                                    

"Bianca hamil. Kandungannya sudah memasuki bulan ketiga."

Blue menutup matanya, ia membelakangi Bilan. Enggan melihat pria yang baru masuk ke kamarnya ketika hampir tengah malam.

"Blue.." Bilan memanggilnya berbisik. Begitu lirih seolah pria itu juga lelah.

"Aku sudah dengar," Blue mengancingkan piyamanya. Ia baru menyelesaikan mandi malam untuk meredakan gejolak dihatinya. "Tadi saat dokter datang, aku mendengar percakapan kalian."

Bilan terdiam. Menatap pantulan Blue yang begitu datar dari cermin yang ada di sudut ruangan.

"Bianca belum tahu."

"Kenapa tidak memberitahunya? Bukankah ini harus dirayakan?"

"Tolong mengerti aku. Kamu laki-laki, kamu pasti lebih kuat tanpa aku. Hanya beberapa saat, ini tidak akan lama."

"Karena aku laki-laki bukan berarti aku tidak akan terluka. Kau kira aku tidak punya hati?"

Blue menaikan alisnya, pria kecil itu kemudian berjalan melewati Bilan untuk mematikan lampu.

"Blue aku sedang bicara serius!" Nada suara yang lebih tua meninggi. Bilan menarik pergelangan tangan Blue hingga si manis meringgis.

"Lepas ishhh.."

Blue meronta namun Bilan menahannya. "Blue!"

"Apalagi?! Aku lelah mau tidur."

"Aku sedang Bicara Alaska!" Bilan membentak. Membuat Blue merotasikan matanya. "Bianca hamil." Ulang pria itu.

"Lalu?" Blue menantang, mengabaikan hatinya yang menciut karena Bilan nampak begitu asing.

"Anak itu mungkin milikku."

Blue memalingkan wajahnya, air mata menggenang.

"Kamu mungkin harus menunggu sampai anak itu lahir."

"Untuk apa?" Blue terkekeh tajam.

"Blue, kita bisa membesarkan anak itu bersama. Jika dia memang milikku."

"Tidak perlu." Blue menarik tangannya sekuat tenaga. Lalu pria kecil itu mundur beberapa langkah.

Kilatan cahaya dari petir yang menyambar membuat suasana menjadi lebih tegang.

"Aku tidak mau menjadi pengganti."

"Siapa bilang kau pengganti?"

"Kak Bilan yang bilang." Blue mengulum bibirnya, sekuat tenaga menahan tangisan. "Aku akan pergi."

"Apa maksudmu?" Bilan meradang. Kembali menarik kedua tangan Blue hingga tubuh keduanya bertabrakan. "Pergi kemana yang kamu maksud?"

"Jangan menghukum kak Bianca dengan berpura-pura mencintaiku. Blue juga manusia kak Bilan." Blue terisak, akhirnya air mata yang ditahanya berhamburan keluar. "Aku mau melanjutkan hidupku juga."

"Kau salah paham Blue. Aku tidak bermaksud begitu."

"Tidak," Blue menggeleng cepat. Pipinya sudah basah oleh air mata. "Kak Bilan yang salah paham, perasaan kakak untuk Blue itu tidak nyata. Kembali pada kak Bianca saja."

"Tidak." Bilan merasa resah. Tangisan Blue membuatnya tidak tahan. "Tidak mau." Pria tinggi itu mendekap Blue yang meronta, mengerahkan seluruh tenaganya agar Blue tidak kemana-mana. "Jangan pergi. Aku hanya meminta kau menunggu beberapa saat."

"Menunggu apa?" Blue memukuli dada Bilan. "Menunggu apa kak?"

"Blue ini sulit."

"Kak Bilan egois. Padahal yang terluka bukan hanya kakak."

How we parted ways Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang