Belajar Mencintai

137 6 1
                                    

“Seperti alim lam Qomariyah, seperti itulah rasa cintaku untukmu, sangat jelas.”
-Gus Abhizar


----------------

Sudah satu bulan usia pernikahan Gus Abhi dan Saffa, rumah tangga mereka baik-baik saja, namun yang menjadi masalah adalah Saffa yang masih ragu akan dibawa kemana rumah tangganya.

Saffa masih teringat dengan seseorang, ia sadar kalau dirinya salah. Memikirkan yang bukan mahram, tapi mau bagaimana lagi ia kalah dengan perasaannya sendiri. Bahkan Gus Abhi sudah terlalu baik sekali terhadapnya, beliau begitu sabar menemani dan membimbing istrinya.

Apakah Saffa harus benar-benar melabuhkan cintanya kepada sang suami? Memang sudah seharusnya begitu, bukan?

“Baiklah Saffa, kamu harus benar-benar melupakan dia, dan menerima suamimu, jangan egois sama diri sendiri,” ucap pada dirinya sendiri.

Saffa kini sedang duduk di pinggir ranjang, sejam yang lalu Gus Abhi izin pergi mengajar dan tinggallah Saffa seorang diri.

Melihat bagaimana perlakuan Gus Abhi kepada Saffa membuat hatinya dengan cepat mulai merasakan cinta. Mungkin bukan hanya Saffa saja jika diperlakukan seperti itu oleh Gus Abhi, pasti semua perempuan akan luluh dengan perilaku suaminya. Namun, sungguh beruntungnya Saffa bisa memiliki Gus Abhi yang melabuhkan cintanya karena Allah.

Dan beberapa hari lagi, resepsi pernikahan kedua akan digelar di pesantren At-Taqwa. Sebenarnya Saffa tidak ingin membuat resepsi, namun ia menghargai kedua mertuanya yang sudah menyiapkan ini jauh-jauh hari.

Saffa sadar sekarang, bahwa ia akan melupakan masa lalunya. Sekarang ia sudah menjadi istri dari Gus Abhi, bukan lagi remaja yang merasakan cinta yang katanya ‘cinta monyet’. Ia harus melabuhkan cintanya kepada suaminya, bukan kepada laki-laki lain.

“Assalamualaikum,” ucap seorang perempuan dari luar kamar, yang Saffa yakini adalah mertuanya.

“Waalaikumussalam, eh umi, masuk Mi,” jawabnya sembari mempersilahkan uminya masuk.

Kemudian Bu nyai Farah pun memasuki kamar kedua pasutri tersebut. Duduk dipinggir kasur yang disusul oleh Saffa.

“Ada apa umi?” tanyanya bingung.

Nduk.. Umi mau bertanya sama kamu,”

Nggih, Umi, mau bertanya apa?”

“Kamu tidak menunda kehamilan kan? Maksudnya Umi, kami semua mengharapkan kehadiran cucu dari kalian,” ucap Umi Farah.

Deg!

Pertanyaan sekaligus perkataan itu membuat Saffa membeku. Jantungnya berdetak kencang, rasanya sangat tidak mungkin jika ia berkata bahwa Gus Abhi tidak boleh ‘menyentuh’ Saffa. Itu masalah yang besar, jika uminya tahu. Bahkan sudah satu bulan Gus Abhi belum mendapatkan ‘haknya’.

“Hmmm, i-iya Mi, kami nggak menundanya, kok,” ucapnya gugup. Terpaksa ia harus berbohong kepada mertuanya.

“Alhamdulillah, semoga cepet isi, ya Nduk, umi sama Abi sangat menunggu kehamilan kamu,” ucap Umi Farah sembari mengusap perutnya. Dalam hati Saffa, ia menangis sedih. Maaf Umi, aku udah bohongi kalian.

“Aamiin, Abi belum pulang Mi?” tanya Saffa. Sebab, Abi mertuanya sedang dalam perjalanan dari Boyolali.

“Belum, Nduk. Mungkin sebentar lagi, tadi Abi sudah kabari umi katanya lagi diperjalanan kemungkinan macet,” jawab umi Farah.

Keikhlasan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang