KEYCARD

216 20 3
                                    

"Aku minta maaf," kata Ludwiq sebelum pergi ke kantor. Laki-laki itu menatap Safa yang telentang di ranjang sambil mengelus perutnya berulang, dan menatap layar ponsel. "Semalam aku nggak bermaksud bentak kamu di rumah sakit."

Safa yang tengah memainkan ponselnya tidak sedetik pun menatap Ludwiq. Baginya, laki-laki itu sudah keterlaluan. Lagi pula perempuan mana yang suka dibentak? Daripada mendengar permintaan maaf Ludwiq yang sejatinya hanya seperti angin—berlaku hanya dalam hitungan menit saja, nantinya laki-laki itu akan melakukan hal yang sama—Safa lebih memilih tidak memedulikannya. Toh, keberadaannya di apartemen itu pun seolah tidak diinginkan. Belakangan, tidak ada lagi Ludwiq yang perhatian, dan mau menuruti semua kemauannya. Laki-laki itu berubah, dan Safa tidak menyukai perubahan itu.

"Hon?" Karena tidak ada jawaban Ludwiq mendudukan diri di ambang ranjang. Lengan laki-laki itu terulur, dan tangannya mengelus puncak kepala istrinya. "Kamu ngertiin aku ya, sekarang ini pekerjaanku lagi banyak, dan refleks saja aku bentak-bentak kamu. Ya ... lagipula siapa yang nggak marah kalau pulang ke apartemen, apartemennya berantakan? Otak sama tenagaku seharian dipakai buat kerja, aku ...."

"Oh, jadi kamu nggak suka apartemenmu ini berantakan?" Safa menurunkan ponselnya. Perempuan itu menatap Ludwiq dengan pandangan nyalang. "Ya, harusnya kamu juga ngertiin aku, aku ini lagi hamil anak kamu! Kamu pikir aku ini pembantu yang tugasnya cuma beres-beres rumah begitu?!"

Ludwiq mengusap wajahnya frustrasi. Lagi-lagi salah paham. Pekerjaan cukup membuatnya stres belakangan, kini ditambah lagi dengan sikap perempuan yang tengah mengandung di sampingnya. "Bukan begitu, maksudku kamu ...."

"Sudahlah, mending kamu pergi kerja sana." Safa membuang muka, kemudian menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi. "Aneh banget. Sejak kapan kamu suka pamit, dan nungguin aku bangun sebelum pergi ke kantor."

"Aku sengaja tunggu kamu bangun. Hari ini aku sama Fendi mau ke Makassar, ada proyek pembangunan rumah pejabat. Kamu mau dibawain coto Makassar?"

"Nggak!"

Ludwiq membuang napas kasar. "Aku di Makassar cuma empat hari. Kamu baik-baik ya di sini, kalau ada apa-apa langsung telepon aku."

Safa tidak menyahut. Perempuan itu menatap tubuh Ludwiq yang mulai bangkit dari ranjang. Kini laki-laki itu membawa ransel superbesar yang isinya keperluan pribadi, beserta alat-alat kerja. Safa lelah diperlakukan seperti ini.

"Aku pergi, ya?" tanya Ludwiq ketika berada di ambang pitu. Laki-laki itu melambaikan tangan sebelum berbalik, dan ....

"Apa kamu nggak bisa tinggal di sini sama aku untuk beberapa hari ke depan? Apa pekerjaanmu itu jauh lebih penting daripada aku? Apa kamu mau batalin kepergianmu, buat kali ini saja?"

Ludwiq yang baru saja memegang handle berhenti bergerak. Laki-laki itu tersenyum tipis. "Ini proyek penting, Hon. Aku sudah tanda tangan kontrak, kalau batal ... nanti aku akan dapat final dengan bayar denda sejumlah ...."

Safa mengibaskan tangan, tanda agar Ludwiq bisa segera pergi. "Oke, pekerjaanmu memang jauh lebih penting."

"Aku pergi. Hati-hati di sini."

Pintu tertutup. Safa memejamkan matanya yang sudah tidak tahan lagi menahan tangis, dada perempuan itu terasa sesak mendengar pengakuan Ludwiq. Katanya pekerjaan laki-laki itu penting. Ayolah, perempuan mana yang sudi dinomor duakan? Dia tidak tahu harus pada siapa mengadu. Sakit, untuk kesekian kali Safa dikurung layaknya tahanan. Ya, setidaknya kulkas penuh dengan makanan, tapi perempuan itu butuh kebebasan, dia tidak mau terus-menerus diperlakukan seperti ini.

"Argh! Kamu sialan, Ludwiq!" serunya sambil melempar bantal ke sembarang tempat. Tidak hanya bantal dan guling saja, ponsel pun mendapat jatah dilempar. Perempuan itu tidak peduli benda itu akan hancur. Ketika rusak ponsel bisa dibeli yang baru, tapi hati? Ketika hancur, di mana lagi kita bisa mendapatkan pengganti?

Dark SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang