HELLO SINGAPORE

4K 188 6
                                    

Setelah satu setengah jam berada di dalam kabin, akhirnya pesawat Boeing 777-200 bernama Singapore Airlines yang ditumpangi Ludwiq mendarat di Terminal 1 A Changi Internasional Airpot. Laki-laki itu mengembuskan napas lega, dia bergegas mencari taxi agar bisa segera sampai di Shangri-La Hotel yang sudah dipesan asistennya jauh-jauh hari. Dari Changi menuju Shangri-La Hotel jaraknya hanya 19 km, meski begitu di dalam taxsi Ludwiq bergerak-gerak gelisah. Dia ingin segera menghubungi Safa di Indonesia, tapi sial, ponselnya low batt.

"Sir, welcome to Shangri-La Hotel Singapura."

"Ah, yeah?" Ludwiq terperanjat melihat penjaga hotel membukakan pintu taxi untuk dirinya. Laki-laki itu tersenyum kecil, lalu mengulurkan beberapa lembar uang, dan bergegas keluar.

Beberapa saat kemudian sopir taxi mengeluarkan kepala dari jendela. "Sir, youre money more ...," karena uang yang diberikan Ludwiq terlalu banyak dari jumlah yang seharusnya.

"For you." Tanpa menoleh Ludwiq masuk ke dalam Shangri-La Hotel. Dia mendekati meja resepsionis, dan bergegas menuju kamar setelah mendapatkan kunci.

***

Hal pertama yang dilakukan Ludwiq setelah sampai di kamar hotel adalah men-charger ponsel, dan mengaktifkannya tergesa-gesa. Menggunakan jaringan wifi yang terhubung, laki-laki itu meluncur pada aplikasi WhatsApp. Jarinya bergerak lincah mencari kontak Safa, tapi nihil tidak ada nomor perempuan itu di kontak ponselnya. Di menit ke lima belas barulah Ludwiq menepuk kening, karena dia sadar tidak pernah menyimpan nomor ponsel perempuan itu.

"Shit, stupid. Kenapa aku nggak minta nomor dia kemarin? Ludwiq, youre so stupid. Damn! Kalau kayak gini harus tunggu seminggu lagi."

Ludwiq membanting ponsel, kemudian menjatuhkan diri ke atas ranjang yang dilapisi seprai putih. Tanpa diperintah bayangan itu menari di dalam kepala. Ya, seprai hotel mengingatkan Ludwiq pada kejadian saat dia dan Safa menghabiskan malam berdua di salah satu kamar Ibis Hotel beberapa bulan lalu. Kejadian itu memang kesalahan, tak seharusnya Ludwiq menyentuh Safa hanya karena kasihan pada kondisinya saat itu. Namun, meskipun seperti itu bayi yang ada dalam perut Safa bukanlah kesalahan. Bayi itu ada karena Ludwiq dan Safa.

"Take care, Saf. I'll be back for our baby." Ludwiq mengelus guling. Dia berniat tidur, tapi tidak mengantuk. Akhirnya Ludwiq melirik jam di salah satu dinding yang menunjukkan pukul 2 lebih 40 dini hari. Tidak ingin membuang waktu Ludwiq bangkit, dia mengeluarkan laptop, cetak biru, beserta beberapa berkas dari dalam koper.

Selanjutnya dia melakukan persiapan bertemu klien, dan meninjau agenda kegiatan yang dibuat asistennya. Ludwiq bertekad akan mempercepat semuanya, karena dia harus segera pulang ke Indonesia, dan memastikan kondisi Safa baik-baik saja. Mencoba fokus di tengah keresahan memang tidak mudah, tapi laki-laki itu berusaha menghapus keresahan itu demi proyek besar ini, dan demi bayi yang ada di dalam perut Safa.

***

"Hello, Singapura!" teriak James ketika Ludwiq menempelkan ponselnya di depan telinga. "How, di sana banyak cewek seksi dan cantik, 'kan?"

Ludwiq meringis. Tidak tidur semalaman membuat kepalanya agak pening, apalagi bila pagi harinya disambut dengan teriakan heboh James yang samar-samar dibarengi desahan perempuan. "Ngapain nanyain cewek seksi, bukannya kamu di sana lagi sama cewek?"

Tawa terdengar dari seberang sana. "Memang, aku lagi have fun sama Lenka. Balik dari Thailand dia makin hot."

Ludwiq menjauhkan ponselnya dari depan telinga, karena suara kecupan dan desahan terdengar semakin keras. Siapa lagi pelakunya bila bukan Lenka, perempuan yang berprofesi sebagai model majalah dewasa itu selalu mengurung James dua hari dua malam setelah proses pemotretan di luar negerinya selesai. "Lanjutkan kegiatan kalian, aku harus bertemu klien setengah jam lagi."

"Sebentar!" teriak Ludwiq heboh. "Babies, kita lanjutkan nanti, ada yang ingin kubicarakan dengan Ludwiq."

"Apa yang mau kamu katakan, James. Lebih baik cepat, aku muak mendegar suara-suara aneh yang kamu ciptakan bersama Lenka."

Tawa ringan James kembali menyapa gendang telinga Ludwiq. "Kutebak kamu pasti belum tidur, atau masih jet lagh, 'kan?"

"Hm, aku datang ke sini untuk bekerja, bukan main-main."

"Payah, pergi ke klub, dan pilih perempuan mana saja yang kamu inginkan."

"Please, James ...."

"Oke-oke, aku menyerah." James terdiam selama beberapa saat. "Lud, im happy now. You know i feel, im fallin in love with ...."

"Lenka? I know."

"Eits, no. Do you remember, sexy girl yang pernah kuceritakan dulu padamu?"

"Hm."

"Dia bekerja di Jegu Luxury, dan aku akan mendekatinya."

Ludwiq mendesah, kelakuan James memang tidak pernah berubah, bila ada perempuan seksi dia akan bergerak cepat. "So, bagaimana dengan Lenka, dan calon tunanganmu?"

"I dont care. Just that, ill back have fun with Lenka. Dia sudah nggak sabar kayaknya, dari tadi natap aku terus dengan pandangan menggoda."

Tanpa perintah Ludwiq memutus sambungan secara sepihak. Terkadang dia geram dengan sikap James yang selalu mengganggunya saat sedang sibuk, dan hal yang laki-laki itu bicarakan hanya seputar perempuan. Membosankan.

***

"Bapak kurang tidur?" bisik Fendi-asistennya. Kemarin Fendi dan tim mengambil penerbangan pagi, karena mereka harus bertemu dengan salah satu pihak perusahaan yang bekerja sama dengan Ludwiq untuk membicarakan masalah tenaga kerja.

Ludwiq yang baru saja selesai mempresentasikan cetak birunya mengangguk kecil, sebelum kembali fokus mendengar penuturan klien.

Menurut jadwal, hari ini agenda full membahas cetak biru yang dirancang Ludwiq. Besok mereka akan melakukan peninjauan lokasi. Sejam terasa setahun bagi Ludwiq, hatinya tidak berhenti dilipitu kebimbangan. Dia terlalu mengkhawatirkan kondisi janin yang ada di dalam perut Safa, Ludwiq tak mau sesuatu terjadi, apalagi dia tak bisa menghubungi perempun itu sekadar mengingatkan untuk meminum susu hamil.

"Pak."

"Hah?"

"Coffe break," kata Fendi.

Ludwiq menatap keadaan ruang pertemuan yang mulai sepi. Dia mengangguk, lalu bangkit. Mereka berjalan berdampingan menuju ruangan yang disediakan untuk coffe break. Hotel milik kliennya itu memang super, sebuah kebanggaan bagi Ludwiq bisa menangani proyek salah satu cabang megahotelnya. Suatu saat Ludwiq berniat membawa Safa mengunjungi hotel itu, dan ... ah, Safa lagi. Bagaimana dia dan bayiku di sana?

"Fen."

"Iya, Pak?"

Ludwiq menghentikan langkah. Dia menatap asistennya sebelum berkata, "Kamu punya kenalan informan andal di Indonesia?"

Fendi mengangguk. "Ada apa, kenapa ya?"

Mendengar jawaban Fandi, Ludwiq tersenyum. "Good. Tolong suruh informan itu mencari tahu nomor ponsel Safa secepatnya. Masalah fee, nanti saya transfer. Kalau berhasil, kamu juga akan saya beri bonus."

"Baik, Pak. Tapi, Safa apa nama panjangnya? Tinggal di mana, dan ...."

"Saya tidak tahu nama panjangnya, yang jelas usianya 23 tahun. Beberapa bulan lalu dia dan teman sekelasnya mengadakan liburan ke Singapura. Selesai coffe break akan saya kirimkan fotonya."

Fendi tersenyum. "Siap, Pak. Saya akan segera menyuruh orang untuk mencari tahu."

Ludwiq tersenyum, tidak rugi dia mengambil foto Safa saat mereka bersama. Foto itu bisa digunakan untuk mencari tahu nomor ponselnya, dengan bantuan informan tentu saja. Semoga aku bisa cepat mendapat nomor ponselmu, Saf. Aku khawatir terjadi sesuatu sama kamu, dan anak kita. Tuhan, tolong jaga mereka.

Sabtu, 22 Desember 2018 [05: 12]

Dark SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang