GOOD NEWS

5.9K 257 1
                                    

Safa tertawa ketika menonton acara komedi di salah satu stasiun televisi swasta. Sedari pagi dia tidak beranjak dari ranjang barang sejenak, yang dilakukannya hanya mengotak-antik saluran televisi sambil memakan camilan yang dibelinya kemarin. Beberapa bungkus keripik kentang dan tortila berserakan di samping ranjang.

Akhir-akhir ini Safa memang malas melakukan apa-apa, yang dia inginkan hanya bergelung dalam selimut tebal sambil menonton acara televisi. Berulang kali mamanya mondar-mandir ke kamar sekadar mengajaknya makan. Namun, Safa menolak dengan alasan kenyang, padahal dia tak kuat mencium aroma rempah di dapur. Nafsu makan Safa bertambah akhir-akhir ini, tapi dia tak bisa makan nasi, karena ketika menatap bentuknya Saa merasa nasi itu terlihat seperti belatung.

"Habis." Safa mendesah karena keripik kentangnya habis. Terlalu larut dalam kemalasan dia lupa untuk memeriksakan keadannya yang akhir-akhir ini berubah.

Sejenak Safa terdiam. Dia memikirkan hal apa yang akan dilakukannya hari ini. Tiba-tiba saja nama Dokter Alya berputar di dalam kepalanya. Saat itu juga Safa bergegas mandi dan berganti baju, dia bertekad akan memeriksakan keadaanya pada ... Safa menggeleng. Dia merasa Dokter Alya bukanlah pilihan yang tepat. Bila sesuatu terjadi padanya, bisa-bisa sahabat mamanya itu mengadukan keadaannya pada keluarga Safa.

Masa bodoh, yang penting aku harus segera memeriksakan diri. Mungkin klinik di pinggir jalan akan lebih aman, batin Safa.

Setelah selesai berdandan dia menyambar tas, kemudian bergegas menuruni tangga. Ketika sampai di ruang keluarga Safa berpapasan dengan Sintia. Perut kakanya semakin membuncit dari terakhir dia melihatnya.

"Mau ke mana, Saf?" Sintia mengelus perutnya. Sesekali suaminya mengecup kening Sintia. Terlihat sangat romantis.
Terkadang Safa iri pada Sintia karena mendapatkan suami sebaik Riko. Yang membuat hati Safa meleleh adalah ketika mendengar cerita mamanya tentang keinginan macam-macam Sintia di tengah malam. Dengan penuh kasih sayang Riko memenuhi keinginan itu.

"Mau jalan-jalan aja Kak. Bosan di rumah." Safa mengelus perut Sintia. "Udah berapa bulan, Kak?"

Sintia terkikik kegelian. "Tujuh. Bentar lagi kamu punya keponakan."

"Safa kapan nyusul?" celetuk Riko dengan mimik santai. Kakak iparnya itu memang selalu memilih moment yang tidak tepat ketika bertanya.

Safa cemberut. "Mau nyusul gimana Kak, orang calonnya aja belum ada?"

"Cari calon yang kayak Nak Riko, Saf!" teriak mamanya dari beranda. "Biar Mama nggak khawatir ngelepas kamu."

Safa bersungut-sungut. Bagaimana dia bisa punya pacar, standar mamanya saja minimal harus seperti Riko; baik, penyayang, pengusaha minimarket, dan ... tampan. Sulit mencari calon yang seperti Riko, kalau saja kakak iparnya itu kembar Safa pasrah saja dinikahi kembarannya. "Berat, Ma."

Sintia dan Riko tertawa melihat ekspresi Safa. Setelah Sintia menikah Riko menjadi tolak ukur calon suami Safa. Menantu idaman kata mamanya.

"Nggak usah buru-burulah Ma, Safa 'kan masih muda," bela Sintia akhirnya.

Mamanya tidak menyahut, beliau terlalu fokus menyirami bunga-bunga hias di depan rumah.

"Pergi naik apa, Saf?" Riko mencomot gorengan dari atas meja.

"Naik angkot."

"Jangan!" Sintia mengibaskan tangan do depan wajah adiknya. "Panas gini naik angkot. Pakai mobil Mas Riko aja."

Safa menimang-nimang usul Sintia. Dia menatap ke luar melalui pintu yang menjeblak. Memang, Jakarta sangat terik siang ini. Bila naik angkot, Safa pasti akan banjir keringat sebelum sampai tujuan, tapi di sisi lain perempuan itu tak mau merepotkan kakaknya. "Nggak usah Kak, ngerpotin aja."

Dark SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang