Safa membuka dua kancing teratas piama yang Ludwiq siapkan di walk in closet, beberapa jam yang lalu. Berulang kali dia mengganti posisi tidurnya; mulai dari miring ke kanan, miring ke kiri, telentang, hingga tengkurap sudah dicoba, tapi perempuan itu tetap tak juga memejamkan mata karena merasa gerah. Pun dia memilih untuk bersandar pada kepala ranjang, saat itu matanya menangkap kepala Ludwiq yang terkulai di salah satu sisi ranjang, sementara tubuhnya terduduk di lantai yang dilapisi karpet tipis.
Seketika mata Safa kembali berkaca-kaca, untuk kesekian kalinya dia tak menyangka Ludwiq akan bersikap semanis ini pada dirinya. Perempuan itu menyembunyikan wajahnya di antara lutut yang terlipat, lalu tangisnya pun pecah. Tadinya Safa ingin membangunkan Ludwiq dan menyuruhnya untuk pindah, tapi dia tak tega, Ludwiq terlihat nyenyak dalam tidurnya.
Namun, siapa sangka tangisan Safa malah membangunkan Ludwiq. Dalam keadaan setengah mengantuk dia panik, bergegas laki-laki itu bangkit dan mendudukkan diri di samping Safa. "Kenapa kamu nangis, Saf? Ada yang sakit, perutmu sakit?"
Safa menggeleng.
Ludwiq merangkul bahu Safa, kemudian membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Sekilas dia menatap dua kancing piama teratas yang dikenakan Safa sudah terbuka. Hati-hati Ludwiq menyingkap piama Safa, berlanjut mengelus perut perempuan itu yang masih rata. "Bilang sama aku, perutmu sakit? Di sebelah mana?"
Safa kembali menggeleng.
Ludwiq semakin frustrasi, dia tak tahu apa yang terjadi pada Safa hingga menangis seperti ini. Laki-laki itu pun berinisiatif mengecek paha bagian dalam Safa, saking khawatirnya pendarahan kembali terjadi. "Kita ke rumah sakit ya? Kamu pendarahan lagi, Saf, atau ...."
"Aku nangis karena nggak tega lihat kamu tidur kayak tadi," potong Safa di sela isakannya. "Aku mau bangunin kamu, tapi takut ganggu. Kulihat tidurmu nyenyak banget."
Ludwiq melongo. Dia tak habis pikir Safa bisa menangis sehisteris ini hanya gara-gara melihatnya tidur di lantai berlapis karpet dalam keadaan kepala terkulai di atas ranjang. Saat itu juga Ludwiq sadar, perempuan hamil memang ajaib. Tingkat sensitivitasnya terkadang membuat orang panik, tapi tak dipungkiri dia terhibur dengan tingkah ajaib Safa. "Nggak apa-apa, Honey. Tadi aku ketiduran, makanya posisinya kayak tadi. Kamu jangan nangis lagi ya."
Safa berbalik, dia menyandarkan kepalanya di dada Ludwiq. Perempuan itu sendiri pun tak mengerti dengan tingkahnya yang tiba-tiba saja menangis hanya karena melihat Ludwiq tidur dalam posisi tidak nyaman. "Iya nggak apa-apa, lagian kenapa juga aku nangisin posisi tidurmu? Nggak bermanfaat banget."
"Mungkin itu karena perubahan hormon." Ludwiq menepuk kepala Safa berulang, kemudian melirik jam dinding yang menunjukkan pukul satu lewat dua belas malam. "Tidur lagi ya masih malam, atau kamu lagi mau sesuatu? Bilang aja, biar aku beliin."
Safa kembali menggeleng. Dia melepaskan diri dari Ludwiq, kemudian menendang selimut tebal yang menutupi punggung kakinya. "Panas, gerah banget, Lud."
"AC-nya nyala, kok."
"Turunin lagi suhunya." Safa membuka semua kancing piamanya, kini dia hanya menggunakan tanktop. "Gerah banget."
"Kamu masuk angin ntar." Ludwiq memungut selimut, kemudian menutupi tubuh Safa. "Udah cukup segini suhunya, aku nggak ngerasa kepanasan, normal-normal aja."
Safa cemberut, setitik air mata jatuh di pipinya.
Ludwiq membuang napas kasar, terpaksa dia menurunkan suhu AC. "Tapi selimutnya jangan dilepas, ya, aku nggak mau kamu sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Secret
RomanceHidup Safa berubah 180 derajat. Mati-matian dia menyembunyikan kehamilannya dari sekitar. Namun, serapat-rapatnya bangkai disembunyikan, toh akan tercium juga busuknya. - Sebuah ketidaksengajaan membuat Safa kembali memutar kejadian buruk yang dial...