"Lo di mana sekarang, Saf?" tanya Nindi setelah sambungan terhubung. "Gue ke tempat indekos lo, tapi enggak ada siapa-siapa di sana."
Sejenak Safa menjauhkan ponsel dari telinganya, karena teriakan Nindi yang tanpa bas-basi itu. "Aku di apartemen Ludwiq. Kenapa, Nin?"
Samar-samar Safa bisa mendengar helaan napas dari sambungan. "Enggak apa-apa, gue cuma khawatir saja sama kondisi lo. Oh, iya, bagaimana?"
"Apanya?"
"Keluarga lo sama keluarga si Mas Ganteng sudah tahu belum kalau lo hamil?"
Safa menggigit bibir bagian bawahnya. Setelah dua menikah, Ludwiq tidak juga mengatakan apa-apa. Lagi pula belakangan ini laki-laki itu lebih sering menghabiskan waktu di kantor, dan pergi ke luar kota ataupun ke luar negeri untuk meninjau proyek yang ditanganinya. Sekarang saja Ludwiq masih di Singapura. "Um, belum, Nin. Aku belum ada waktu buat bicara sama Ludwiq, dia terlalu sibuk sama pekerjaannya."
"Oh. Sekarang lo sama siapa di sana?"
Safa mengarahkan pandangan pada langit-langit apartemen. "Sendiri. Sudah dua minggu Ludwiq ada di Singapura buat ninjau proyek yang ditanganinya. Dua hari setelah acara resepsi ... dia memang sudah balik kerja. Kayaknya Ludwiq sibuk, dia selalu pulang lewat tengah malam, dan berangkat pagi-pagi banget."
"Dia kan kerja buat lo juga, Saf. Jadi, lo jangan sedih ya, balik dari Singapura pasti bawa oleh-olehnya banyak," kata Nindi berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Oh, iya, Saf, gue mau curhat ini boleh nggak?"
"Boleh, curhat tentang apa?"
"Itu loh si Driky, cowok ...."
"Oh, pacarmu yang kesepuluh itu, 'kan?" potong Safa cepat. Perempuan itu teringat kembali pada percakapan mereka saat Nindi menjemputnya di acara tujuh bulanan Sintia. Perempuan itu mengatakan baru saja menerima cinta laki-laki bernama Driky yang berasal dari Kanada.
"Wah, lo masih ingat. Good! Aduh, Safa ... gue ini capek banget tahu dengerin si Driky bilang cinta terus setiap hari. Mana dia nggak berhenti kirim bunga dan cokelat ke tempat kerja gue. Saking seringnya itu cowok ngasih bunga, sampai seisi pabrik sudah tahu kebiasaannya. Capek deh, tiap hari gue diledekin sama senior, karena ...."
"Nin, sudah dulu, ya. Aku mau bikin makanan buat makan siang," potong Saf sebelum memutuskan sambungan.
Perempuan itu menggenggam ponselnya erat-erat. Dua minggu berpisah dengan Ludwiq, tidak sekalipun laki-laki itu memberi kabar ataupun mengirim pesan sekadar menanyakan keadaan. Dua minggu belakangan, Safa dikurung di apartemen dengan kulkas dipenuhi bahan makanan serta camilan, juga setumpuk kaset DVD.
Safa sengaja menutup telepon dengan alasan akan membuat makan siang, padahal jauh di hatinya yang paling dalam ... perempuan itu tersinggung dengan kata cinta yang diucapkan Nindi. Bukan sekali-dua kali saja dia mendengar curhatan Nindi yang mengatakan tentang umbaran cinta yang diserukan kekasih-kekasihnya. Kali ini Safa benar-benar iri kepada sahabatnya yang dilimpahi banyak cinta itu, sedangkan dirinya tidak, bahkan setelah menikah dengan Ludwiq pun, laki-laki itu tidak pernah sekalipun mengatakan cinta. Pun selama ini kehidupan Safa terbilang monoton, setiap harinya hanya digunakan untuk; belajar, makan, tidur. Sangat berbanding terbalik dengan Nindi yang aktif mengikuti pesta yang diadakan teman kuliah, atau menghabiskan malam dengan kekasih-kekasihnya.
"Seharusnya aku memilih Pak James, bukan Ludwiq." Safa mengacak rambutnya, kemudian beralih menatap perut yang dilapisi kaus kebesaran milik Ludwiq. Setelah Ludwiq berangkat ke Singapura, perempuan itu lebih sering memakai baju suaminya karena dia bisa mencium jejak aroma tubuh Ludwiq di baju-baju tersebut. "Ya, pilihanku ini salah. Kupikir, setelah menikah, sikap Ludwiq tidak akan berubah, nyatanya ... dia seolah tidak menganggapku ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Secret
RomanceHidup Safa berubah 180 derajat. Mati-matian dia menyembunyikan kehamilannya dari sekitar. Namun, serapat-rapatnya bangkai disembunyikan, toh akan tercium juga busuknya. - Sebuah ketidaksengajaan membuat Safa kembali memutar kejadian buruk yang dial...