I DONT TO LOSE YOU

4.8K 211 7
                                    

Saat membuka mata, Ludwiq tidak melihat Safa ada di ranjang king size-nya, dia yang beberapa jam lalu tidur di sofa kamar bergegas menyingkap tirai, lalu membuka pintu balkon. Hasilnya, tentu saja nihil, Safa tidak ada di kamar. Kepanikan kembali menyergap Ludwiq, dalam keadaan pening-karena kurang tidur-laki-laki itu mengitari seisi apartemennya. Sesekali Ludwiq memijat kepala, atau meremas rambutnya yang pagi itu sangat berantakan.

"Saf, kamu di mana? Jangan bikin aku khawatir, please," katanya dengan suara bergetar. Ludwiq khawatir Safa melakukan hal yang tidak-tidak pada diri juga janin yang ada dalam perut perempuan itu. Di saat seperti ini pikiran buruk malah menguasai kepala laki-laki itu. "Saf, kamu nggak kabur, 'kan?"

Ludwiq menajamkan pandangan, dia membuka satu lagi kamar yang ada di apartemennya. Kebetulan kamar itu sudah lama tidak ditempati, ruangannya hanya diisi tread mill, dan samsak. Laki-laki itu berpikir Safa bersembunyi di kamar tersebut, sayangnya tebakan Ludwiq kurang tepat, Safa tidak ada di sana. Dalam kepanikan dia berusaha menenangkan diri dengan cara menarik napas dalam, dan mengembuskannya secara berulang.

Safa nggak bakal pergi, her always be my side. Yeah, i must belive, Safa still here.

Ludwiq keluar dari ruangan tersebut, dia kembali menelisik seisi apartemen. Di menit kedua puluh dia mendengar suara seseorang dari dalam dapur, dengan kemantapan hati laki-laki itu menuju dapur. Hasilnya, hati Ludwiq terasa ditaburi bunga ketika melihat Safa merunduk di depan wastafle.Tak ingin membuang waktu dia mendekati Safa, dan membalik tubuh perempuan itu. "Saf ...."

"Morning sickness," potong Safa dengan suara lirih. Wajah perempuan itu pucat, pipinya digenangi air mata. Setelah mengatakan dua kata itu, Safa menutup mulutnya dan kembali merunduk di depan wastafle sambil menyalakan kran.

Mendengar suara Safa yang tengah berusaha memuntahkan isi perutnya membuat Ludwiq terenyuh, dia tak menyangka perempuan hamil akan semenderita ini. Kalau bisa, Ludwiq rela menggantikan proses morning sickness Safa. Laki-laki itu tidak mau melihat perempuan yang membelakanginya dalam keadaan seperti ini, keceriaan yang menjadi ciri khas Safa lenyap dalam hitungan bulan.

Apa ini alasan kamu nggak mau nikah sama aku, Saf? Aku tahu kamu masih muda, dan mungkin belum siap menghadapi situasi seperti ini, tapi apa pun yang terjadi aku bakal mempertahankan bayi kita. Aku janji akan jaga kalian, batin Ludwiq.

"Are you okay?" Ludwiq membantu membersihkan mulut Safa dengan air mengalir, kemudian mematikan kran. "Aku bisa ngelakuin apa supaya rasa mualmu hilang?"

Safa memutar tubuh menghadap Ludwiq. Perempuan itu menatap manik Ludwiq-yang menyiratkan kekhawatiran akan keadaan dirinya-dengan tatapan menyelidik. "Kamu akan ngelakuin apa saja supaya rasa mualku hilang?"

Tanpa pikir panjang Ludwiq mengangguk mantap. "Ya, apa pun itu. Aku nggak tega lihat keadaanmu kayak gini, Saf."

Safa tersenyum sinis. "Bagus, kita pergi ke rumah sakit buat ngangkat janin ini dari dalam perutku. Sekarang juga!"

"Hei ..." Ludwiq melotot sambil menggeleng. "No. Itu nggak adil buat bayi kita, Honey. Please, kamu jangan mikir kayak begitu, apalagi sampai berniat menyingkirkannya. Dia nggak salah, biar bagaimanapun itu darah daging kita. Kamu ...."

Kalimat Ludwiq terpotong karena Safa menjatuhkan dirinya dalam pelukan laki-laki itu. Isakan mengisi keheningan di seisi dapur. "Aku capek, Lud. Kamu nggak tahu bagaimana keadaanku selama ini."

Ludwiq mengelus kepala Safa. "Aku ngerti, bahkan ngerti banget."

"Kalau kamu ngerti aku, kamu nggak akan membiarkan janin ini tumbuh di perutku." Dalam pelukan Ludwiq, Safa menggeleng. "Lud, kamu lihat kan bagaimana tersiksanya aku setiap pagi, tolong jangan egois, pikirkan juga keadaanku saat ini. Aku belum mau menikah, apalagi sampai mengurus anak. Ini terlalu sulit buat aku."

Dark SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang