"Sudah dong nangisnya." Ludwiq mengusap rambut Safa, sambil sesekali menyeka air mata yang ada di sekitar wajah perempuan itu. "Nanti kamu sakit."
Safa bergeming, dia tetap menangis tanpa memedulikan keberadaan Ludwiq di sampingnya. Saat ini perempuan itu kembali menginjakkan kaki di apartemen Ludwiq, seketika bayangan ketika Ludwiq memasak membuat hatinya terasa seperti teriris. Dia tak menyangka Ludwiq akan kembali dari Singapura lebih awal, terlebih laki-laki itu menyusulnya ke tempat aborsi. Kalau saja kondisinya tidak seperti saat ini, Safa akan merasa sangat bahagia, karena Ludwiq menggendongnya hingga dia bisa telentang di sofa empuk yang harganya sudah pasti wah. Belum lagi mereka menjadi pusat perhatian ketika melewati lobi, dan menaiki lift.
"Honey, kamu jangan bikin aku tambah khawatir dong." Ludwiq mengusap wajah Safa syarat akan kasih sayang. "Selama di Singapura aku nggak bisa tidur nyenyak karena mikirin kamu terus."
"Mikirin aku, atau mikirin bayi yang ada di dalam perutku?" Safa memberanikan diri menatap mata Ludwiq.
"Itu ...."
"Kamu cuma mau bayi ini, 'kan?"
Ludwiq mengembuskan napas kasar. Mati-matian dia menjaga diri agar tidak menyumpah-serapahi Safa yang sensitifnya bukan main semenjak hamil. "Kok kamu mikirnya begitu? Aku khawatir banget sama kamu, bayi kita juga."
Safa menyeringai. "Sudahlah, aku tahu apa mau kamu, Lud."
Ludwiq memilih diam, dan membiarkan Safa tenang terlebih dahulu. Sebagai gantinya, dia mengambil remot, dan menyalakan televisi yang saat itu tengah menayangkan siaran breaking news.
"Pemirsa, polisi berhasil membekuk LS pemilik Klinik Y yang diduga sebagai klinik aborsi ilegal. Pembekukan kali ini tidak akan berhasil tanpa campur tangan salah satu dokter di Rumah Sakit Sejahtera yang melaporkan bahwa salah seorang pasiennya yang masih SMA meninggal setelah melakukan aborsi. Kabarnya MF inisial siswi tersebut dibawa ke Rumah Sakit Sejahtera oleh kekasihnya yang merasa khawatir karena pendarahan MF tak kunjung berhenti. Saat ini polisi masih menyelidiki TKP, kekasih MF pun digiring ke kantor polisi guna memberikan kesaksian. Sekian Breaking News hari ini. Saksikan berita ter-update ...."
"Itu bukannya klinik tadi kan, Hon?" Ludwiq menatap Safa lurus-lurus. "Coba kalau aku datang terlambat, kamu pasti ...."
Safa hanya bisa ternganga, dia tak menyangka siswi yang dilihatnya dibopong beberapa jam lalu di Klinik Y nyawanya lenyap. Entahlah dia harus marah atau senang; marah karena Ludwiq menggagalkan upaya aborsinya, dan senang karena laki-laki itu datang tepat waktu. Kalau saja Ludwiq telat satu detik saja, bisa-bisa nyawanya ikut melayang. "I-itu, aku lihat siswi itu tadi. Dia dibopong sama cowoknya keluar klinik."
Ludwiq mematikan televisi, dan kembali memusatkan perhatian pada Safa. "Kamu jangan kayak begitu lagi, ya. Aku kan sudah bilang cuma pergi seminggu, abis itu aku bakal kembali sama kamu, dan jaga kalian."
Safa menyingkirkan kakinya dari paha Ludwiq, kemudian bersila di samping laki-laki yang kini menatapnya dengan sorot khawatir. "Aku dengar klinik itu aman, dan ... seharusnya kamu nggak peduli sama aku, karena kita nggak ada hubungan apa-apa."
Ludwiq mengambil tangan Safa, kemudian menggenggamnya. "Nggak ada hubungan bagaimana, Saf, anak yang ada dalam perut kamu itulah yang menghubungkan kita."
Safa membuang pandangan, karena melihat sorot mata Ludwiq, perempuan itu selalu ingin memeluknya. "Maka dari itu aku mau hilangin dia supaya nggak ada lagi tali yang menghubungkan kita, atau kalau pun aku pertahanin dia, aku akan berusaha agar dia nggak tahu kamu ayahnya."
"Seburuk itukah aku, sampai kamu nggak mau sama aku?"
"Aku nggak mau bahas itu lagi." Safa mendengus. "Kamu dapat nomor aku dari Kak Sintia, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Secret
RomanceHidup Safa berubah 180 derajat. Mati-matian dia menyembunyikan kehamilannya dari sekitar. Namun, serapat-rapatnya bangkai disembunyikan, toh akan tercium juga busuknya. - Sebuah ketidaksengajaan membuat Safa kembali memutar kejadian buruk yang dial...