WHAT HAPPEN WITH ME?

5.8K 265 5
                                    

Safa baru saja siuman, dan hal pertama yang dirasakannya adalah pening, juga sakit di sekitar perut. Matanya mengerjap, dia memandang sekeliling yang didominasi warna putih. Satu hal yang disadarinya, dia ada di rumah sakit saat ini. Aroma obat begitu menusuk indra penciuman, dari dulu Safa paling benci rumah sakit, tempat itu mengingatkannya pada Nenek yang meninggal waktu dia masih berada di Sekolah Menengah Pertama.

"Lo udah sadar, Saf?" suara Nindi memecah keheningan. Perempuan itu bergegas menekan tombol untuk memanggil perawat dan dokter.

Selang berapa lama dokter dan dua perawat masuk ke kamar yang ditempati Safa, mereka mengecek selang infus juga detak jatung dan tekanan darah Safa. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Mbak. Keadaan teman Mbak sudah lebih baik, tapi pasien harus bed rest selama seminggu."

Nindi mengucapkan terima kasih pada dokter dan perawat itu. Dia menatap Safa dengan pandangan nanar, Nindi sudah tak sabar ingin menginterogasi Safa, tapi kalimat dokter yang mengatakan Safa tak boleh stres membuat perempuan itu mengurungkan niatnya. Yang terpenting saat ini adalah kesehatan Safa.

"Gue tunggu penjelasan dari lo, Saf." Nindi memandang jam. Perempuan itu bimbang, dia tak mungkin meninggalkan Safa sendirian, tapi di sisi lain perempuan itu harus menghadiri interview kedua di PT. Chungha Rela Jaya.

"Gue harus pergi, Saf. Cepet sembuh ya, sampai jumpa." Pintu yang terbuka membuat Nindi bernapas lega, dia bersyukur Ludwiq ada di sini. Tak dipungkiri, perempuan itu menganggap Ludwiq sebagai pengeran yang diutus kerajaan untuk meringankan bebannya. Nindi menghampiri Ludwiq yang baru saja masuk. "Mas, boleh nitip Safa? Gue ada interview di PT. Chungha Rela Jaya."

Ludwiq mengangguk. "Oke, good luck ya. Saya akan urus Safa."

Nindi mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan ruang inap sahabatnya.

***

Pandangan Safa tidak terlepas dari Ludwiq, perempuan itu ingin bertanya kenapa laki-laki itu ada di sini, tapi tenggorokannya terlalu kering. Mengucapkan sepatah kata pun terasa begitu sulit baginya. Yang dia lakukan hanya bisa memegangi lehernya.

"Kamu udah sadar?" Pertanyaan yang tak memerlukan jawaban. Ludwiq bisa melihat mata Safa terbuka, tapi dia butuh memastikan. "Gimana ...."

"A ... ir," ucap Safa susah payah.

Ludwiq bergegas mengambil air dan sedotan, lalu membantu Safa minum. "More?"

Safa menggeleng. "Nggak, makasih."

Ludwiq tersenyum sebelum menyimpan gelas berisi air yang tinggal setengah di atas nakas. Untuk pertama kalinya Ludwiq merasa kaku di hadapan perempuan, dia tak tahu harus memulai dari mana. Lebih dari lima menit Ludwiq menatap Safa dengan pandangan nanar, dia tidak tahu harus memulai membicarakan keadaan perempuan itu dari mana.

"What happen with me?" Pertanyaan Safa memecah keheningan. Padangan perempuan itu tertuju pada Ludwiq yang entah bagaimana bisa berada di kamar tempatnya di rawat. "Kenapa kamu ada di sini."

Ludwiq mengembuskan napas kasar. Dia membelai rambut Safa sebelum berkata, "Kamu pingsan di butik, kebetulan aku juga ada di butik yang sama. Tanpa pikir panjang aku bawa kamu ke sini. Keadaanmu baik-baik aja, tapi kamu harus bed rest karena ...."

"Karena?" Sebelah alis Safa terangkat. "Aku kenapa?"

Ludwiq memandang perut Safa yang tertutup selimut. Perut itu masih rata sekarang, tapi ... entahlah apa yang akan terjadi beberapa bulan mendatang. Kesan pertam yang didapat Ludwiq ketika mengobrol dengan Safa adalah; pemalu dan pendiam. Sebuah kejutan dia mendapati perempuan itu hamil, tanpa menikah pula.

"Lud ...."

"Kamu ... hamil, Saf." Ludwiq menelan ludahnya susah-payah. "Yang jadi pertanyaan, siapa yang ngelakuin ini sama kamu? Kamu nggak mungkin 'kan ...."

Bola mata Safa nyaris keluar dari tempatnya. Perempuan itu tak lagi mendengar ucapan Ludwiq, dan hal pertama yang dia lakukan setelah mendengar kabar itu adalah mengelus perutnya yang kini diisi makhluk kecil, bayinya. Safa tak tahu harus mengatakan apa pada orang tuanya, dia hamil tanpa suami, benar-benar sebuah kejutan. Jujur pada keluarga, yang ada dia akan diusir dari rumah. Mamanya akan malu besar.

"Siapa yang ngelakuin ini sama kamu, Saf?" Ulang Ludwiq, kali ini suaranya lebih tegas.

Pertanyaan Ludwiq menyadarkan Safa dari lamunan, dia melotot. Tanpa aba-aba, tangan perempuan itu melayang dan mendarat di salah satu pipi putih Ludwiq. "Kamu pikir aku perempuan seperti apa, Lud? Aku nggak pernah macem-macem sama laki-laki kecuali sama ...."

"Jadi itu ... anak aku." Ludwiq memejamkan matanya, mencoba memutar kilas balik saat dia dan Safa terjebak hujan di salah satu tempat wisata di Singapura. Saat itu Ludwiq menendapat tender besar, tujuannya ke sana untuk memperluas salah satu wilayah hiburan keluarga. Sedangkan Safa terpisah dari rombongan teman kuliahnya, dia berlibur setelah mendapat gelar S1-nya. Siapa sangka, rasa kasihan mengantarkan Ludwiq pada kesalahan besar. "Saf?"

Safa menutup wajahnya. Dia tak bisa lagi menahan tangis, dada perempuan itu sesak. Safa tak menyangka pertemuan kembalinya dengan Ludwiq membawa petaka, berita kehamilan membuatnya tak bisa berpikir jernih. Perempuan itu takut, marah, dan putus asa. Yang Safa lakukan adalah memukul-mukul perutnya sekuat yang dia bisa."Aku bakal gugurin anak ini!"

Ludwiq melotot. Dia bergegas menangkap kedua lengan Safa dan menahannya di atas kepala. Entahlah, sebuah keberuntungan atau malah sebaliknya. Di saat mama Ludwiq mendesak laki-laki itu untuk menikah, Safa datang begitu saja. Setidaknya, dengan Safa dia yakin semua tidak akan seburuk yang Ludwiq pikirkan, apalagi sekarang ada darah dagingnya di dalam perut perempuan itu. "Nggak, aku nggak bakal izinin kamu bunuh bayi kita."

"Apa hakmu melarang?"

Ludwiq duduk di samping Safa. Laki-laki itu memeluk perempuan di sampingnya yang terus meronta. "Aku ayahnya, dan aku punya andil besar ketika membuatnya. Aku akan tanggung jawab, Saf. Aku akan nikahin kamu, dan jaga anak kita dengan baik. Yang perlu kamu lakukan hanyalah mempersiapkan diri, aku akan segera datang bersama keluargaku untuk melamarmu. Kita menikah dan bangun keluarga baru."

Safa menyeringai. "Semudah itu kamu bilang nikah? Nggak, aku nggak mau! Aku baru 23 tahun, Lud, aku baru lulus kuliah dan merintis karir. Aku nggak mau jadi ibu rumah tangga, aku mau kerja, aku mau buat Mama bangga dan ...."

Ludwiq membungkam mulut Safa dengan kecupan, tak ada pilihan lain. "Setelah melahirkan, kamu bisa kerja di kantor aku."

Safa menggeleng. "Aku nggak mau nikah sama kamu. Aku nggak mau punya bayi!"

"Safa!" Ludwiq mencengkeram lengan Safa. Habis sudah kesabaran laki-laki itu. bukankah seharusnya Safa senang karena ada yang bertanggung jawab, di zaman sepert ini laki-laki mana yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya setelah menghamili anak orang. "Kita akan menikah, dengan ataupun tanpa persetujuan darimu!"

Safa memutar kepala. Hancur sudah perasaan perempuan itu, dia tak menyangka Ludwiq akan sekeras kepala ini. Dulu, dia mengangap Ludwiq tipe laki-laki lembut, tapi setelah kejadian ini dia berpikir untuk menghapus kata lembut itu dari penilaiannya terhadap laki-laki itu. "Jangan harap aku sudi! Aku nggak bakal menghancurkan karier yang baru kurintis hanya karena bayi sialan ini."

"Dia bukan bayi sialan, Safa!" Ludwiq menekan tombol pemanggil perawat dengan sebelah tangannya. "Dia bayi kita, dan akan menjadi bayi yang paling berharga di dunia."

Safa sudah membuka mulut, siap berargumen. Namun, mulutnya kembali terkatup karena beberapa perawat datang, disusul seorang dokter. Tanpa basa-basi dokter itu menyuntikkan sesuatu, hingga kesadaran Safa perlahan menghilang. Kepalanya terkulai di dada Ludwiq.

Setelah obat penenang memengaruhi tubuh Safa, Ludwiq memperbaiki posisi tidur perempuan itu. Sesekali dia mencium kening Safa sambil mengusap puncak kepalanya. Hal itu sukses membuat beberapa suster memekik iri.

Bersambung ....


Jumat, 19 Oktober 2018 (10:31)

Dark SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang