Hari kedua di Singapura, Ludwiq uring-uringan karena kontak Safa yang didapatkannya dari informan Fendi sama sekali tidak merespons telepon, video call, ataupun pesan yang dikirimnya. Padahal Ludwiq sudah menuliskan namanya di bawah semua pesan yang dikirim pada Safa; entah itu melalui pesan WhatsApp, ataupun layanan pesan singkat.
Kini pekerjaan Ludwiq sedikit terganggu, karena laki-laki itu lebih sering menatap ponsel ketimbang klien saat mengikuti meeting. Fendi sampai lelah harus menyikut lengan Ludwiq, dan membisikkan pertanyaan yang ditanyakan klien mengenai pembangunan proyek megahotel yang akan mulai dikerjakan awal bulan. Tidak itu saja, Fendi pun harus bekerja ekstra, dan memutar otak karena bosnya itu sering mengumpat tanpa sebab. Beruntung umpatan yang dilayangkan Ludwiq menggunakan bahasa yang sulit dimengerti kliennya.
"Are you okay?" tanya Winnie Lim, putri dari pemilik megahotel yang juga mengikuti acara peninjauan lokasi pembangunan. Perempuan beranak dua itu terlihat khawatir melihat keadaan Ludwiq, yang notabenenya dia kenal semasa kuliah. Sebagai teman sekaligus rekan, Winnie tak mau rencana pembangunan proyek besar ayahnya hancur, karena keadaan Ludwiq yang telihat tidak baik-baik saja.
"Sure, im okay," elak Ludwiq. Laki-laki itu jago sekali mengontrol mimik wajah, dalam seketika wajah yang tadinya tertekuk berubah menjadi semringah. Padahal, jauh di dalam lubuk hati, Ludwiq merasa jauh dari kata baik-baik saja. "Dont worry, im just think, what can i do fo this project?"
Winnie Lim tertawa, lalu menepuk bahu Ludwiq berulang. "You sudah melakukan pekerjaan yang bagus, Lud. Kami puas dengan cetak biru yang you buat," kata Winnie dengan logat melayu yang lekat.
"Ah, thank you, Win. Sebuah kebangaan bisa dipercaya dan bekerja sama dengan perusahaan hotel terbesar di Singapura."
Winnie Lim memamerkan deretan giginya yang putih, dia paling senang dipuji, apalagi yang memujinya Ludwiq, laki-laki yang terkenal sebagai most wanted di salah satu universitas ternama di Kopenhagen. "Aku juga berterima kasih, Lud, karena kamu sudi menyerahkan cetak biru yang luar biasa itu."
Ludwiq hanya bisa membalas dengan senyuman. Beruntung Winnie tidak mengerti Deutsche Sprache, karena dia hanya sisiwi pertukaran pelajar selama seminggu di universitas tempat Ludwiq dan James menuntut ilmu di Kopenhagen.
"Bagaimana keadaa James?"
Ludwiq menggenggam tangan Winnie, lalu tersenyum. "Still same, mantan pacar lima harimu itu masih sama berengseknya seperti dulu."
Winnie tertawa. "Oh, i see. Kulihat path-nya diisi dengan gambar-gambar perempuan cantik."
"Beruntung kamu nggak married sama dia."
"Ya, kalau itu terjadi aku bisa botak sekarang."
Ludwiq tertawa, lalu mempersilakan Winne berjalan terlebih dahulu. Katanya suami Winnie yang seorang pengusaha jam sudah menjemputnya di depan tanah proyek. Setelah membahas masalah ini dan itu, akhirnya peninjauan lokasi selesai. Ludwiq ingin segera sampai hotel, agar bisa kembali menghubungi Safa.
"See you tomorrow, Lud." Winnie melambaikan tangan sebelum memasuki Ferrarri limited editon yang dikendarai suaminya.
Pun Ludwiq membalas dengan lambaian tangan. Dia dan suami Winne belum sempat kenalan, karena katanya Winnie harus bergegas menemani suaminya makan siang dengan kolektor jam dunia. Ada bagusnya juga, setidaknya Ludwiq bisa menenagkan diri dulu. Laki-laki itu tak yakin bisa bersikap ramah setelah dua hari tak bertemu dengan Safa.
"Pak ...."
"Kita beruntung karena Winne dan rombongannya tidak mengerti Deutsche Sprache. Harusnya kamu juga tidak mengikuti kursus bahasa Jerman agar tidak mengerti umpatanku tadi," potong Ludwiq. Laki-laki itu memandang Fendi dengan tatapan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Secret
RomanceHidup Safa berubah 180 derajat. Mati-matian dia menyembunyikan kehamilannya dari sekitar. Namun, serapat-rapatnya bangkai disembunyikan, toh akan tercium juga busuknya. - Sebuah ketidaksengajaan membuat Safa kembali memutar kejadian buruk yang dial...