17. Roseline

15.2K 2.2K 590
                                    

VILLAIN OBSESSION
Warn : Violence &Sadistic
. . .



"Kau!" Luke berpindah ke gadis lain yang sempat tertangkap basah dekat dengan kakaknya, Roseline.

"Ya, Tuan?" gadis berambut merah itu nampak tak terkejut dengan kehadiran Luke yang mendadak seolah sudah menyiapkan mental untuk kejadian ini dari lama. "Ada yang bisa saya bantu untuk anda?"

"Kau mengenal Roseline?"

"Siapa itu?" perubahan ekspresi gadis itu mendadak terlihat jelas. "Saya belum pernah mendengar nama gadis itu sebelumnya."

"Belum pernah?" Luke menatap tak percaya, ia lalu menarik tangan gadis itu secara paksa dan mencengkramnya kasar. "Aku melihatmu pernah berbicara dengannya di taman belakang. Bagaimana bisa kau---"

"Luke!" seru Ivy datang tepat waktu disaat gadis itu mulai nampak ketakutan. "Aku mencarimu." Ujarnya mendekat ke sisi pria itu.

Seketika Luke refleks melepaskan cekikannya dari leher gadis itu dan mempersilakannya pergi. Entah mengapa sejak berubah status menjadi kekasih Ivy, sebisa mungkin ia tak ingin menunjukkan kekejamannya di hadapan gadis itu.

"Ada apa?" tanya Ivy mengulurkan tangan mengusap lembut pipi Luke, membuat amarah di mata pria itu perlahan memudar terganti oleh tatapan lembut. "Kau memarahi pelayan tadi?"

Ivy menoleh ke belakang namun dengan cepat Luke menahan kedua pipinya agar sepasang mata cantik itu tetap melihat ke arahnya.

"Hanya salah paham." Ujar Luke menutupi kejadian sebenarnya. "Maaf, aku agak kasar."

"He'em." Ivy menggeleng. "Kurasa beberapa orang pantas mendapatkan sikap kasar supaya sadar dimana posisinya berada biar tak besar kepala."

"Kau tak keberatan?" tangan itu kemudian beralih mengusap sisi pipinya, menangkup dan menarik wajahnya agar lebih dekat.

"Kau terlihat keren saat sedang bersikap tegas." Kekeh Ivy. "Namun, Roseline... bukankah dia sudah meninggal? apa pentingnya---maksudku, bukankah sekarang kita berpacaran?" sambil mengusap bahu Luke, Ivy berkedip manja lalu mengerucutkan bibirnya.

"Fakta bahwa kau pernah menyukai kakakmu sendiri membuatku merasa cemburu terlebih saat kau masih berusaha mencari tahu alasan dibalik kematiannya, itu sangat menggangguku. Bukankah sekarang kekasihmu itu aku?" ucap Ivy tersenyum kecut. "Tapi, aku tidak melarang sih."

Menarik tangannya dari Luke, Ivy memundurkan langkah menjauh. "Mungkin kau hanya main-main padaku."

"Tidak!" bantah Luke cepat. "Aku tidak bermaksud membuatmu merasa demikian, Ivy."

"Namun kau membuatnya." Ivy memasang wajah paling menyedihkan yang pernah ada, pun matanya mulai berair. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Mari akhiri saja hubungan kita, mari---"

"Jangan berkata seperti itu." Wajah Luke memerah menahan kesal, tangannya terulur pada Ivy seraya berkata. "Aku cukup menyukaimu dan merasa nyaman atas kehadiranmu, jangan katakan itu lagi."

Ivy menggeleng kecil. "Kau mencintai gadis lain, aku merasa buruk. Mari akhiri---"

"Jangan!" larang Luke.

Sementara itu di tempat lain terdapat Aken yang sedang menunggu, diiming-imingi akan segera kembali oleh Ivy. Tetapi nyatanya Ivy tak kembali. Tiba-tiba saja gadis itu pergi, entah kenapa. Aken dibuat bingung oleh sikapnya yang berubah-ubah, timbul banyak pertanyaan dalam benak dan salah satunya adalah mengapa Ivy bersikap demikian terhadapnya? Membuatnya menunggu sangat lama dan tidak kembali malam itu?

"Ivy..." Aken mengepalkan tangannya merasa dipermainkan padahal tadi Ivy sedang berciuman dengannya saat tiba-tiba gadis itu menarik diri dan bilang segera kembali.

"Kau meninggalkanku dalam keadaan seperti ini." Desisnya.

Namun pada sisi lain Ayrin datang menghampiri Aken. Menemui pria yang akan menjadi suaminya dalam hitungan hari itu.

"Aku ingin bicara." Ucapnya seraya memblokir jalan keluar satu-satunya yang ada di kamar Aken dengan merentangkan kedua tangan. "Isu pembantai di ruang bawah tanah itu... apakah benar atau hanya rumor?"

"Menurutmu?" sahut Aken memasang wajah paling menyebalkan.

"Aku tidak tahu." Balas Ayrin pelan. "Karena itu aku ke sini untuk mendapat konfirmasi darimu."

"Harus sekali di konfirmasi?" Aken memutar bola matanya malas, mengusap dagunya lalu menarik tangan Ayrin ikut bersamanya secara paksa. "Baiklah. Kau punya mata yang masih berfungsi bukan?"

Ayrin dibawa langsung ke ruang bawah tanah yang kondisinya masih sangat kacau. Potongan tubuh dan mayat bergelimpangan dimana-mana. Ayrin dipaksa masuk lebih dalam namun baru menurni satu anak tangga ia sudah kewalahan dan muntah-muntah. Jangankan Ayrin, siapapun yang melihat kondisi tempat itu pasti akan bereaksi sama persis seperti dirinya.

"Kau gila!?" Menarik tangannya lepas dari cengkraman Aken, Ayrin mendorong pria itu menjauh. "Jangan sentuh aku, pembunuh!"

"Jangan sentuh, hm?" satu alis Aken terangkat, mengejek Ayrin. "Kita bahkan akan menikah dalam hitungan waktu kurang dari 48 jam. Bagaimana mungkin aku dilarang menyentuhmu?"

"Kau keterlaluan!" Langkah Ayrin menepi mundur, kedua kakinya terasa lemas mendadak menyaksikan seluruh kegilaan ini.

"Kau membunuh orang-orang!"

"Kau baru tahu?" Aken tersenyum miring. "Kau mengira imej yang tersebar tentang aku baik, bijaksana, dan lemah lembut itu benar?"

"Aku tahu..." Ayrin meneguk ludah, menjeda kalimatnya. "Aku tahu kau kejam namun kupikir..."

"Kau pikir?"

Aken merunduk, meraih sebuah kepala lalu melemparnya ke arah Ayrin. Gadis itu refleks menghindar, membuat tubuhnya jatuh terduduk di anak tangga, diatas kubangan darah yang mulai mengering sementara Aken hanya tertawa pelan menyaksikan kepanikan gadis itu.

"Jangan mendekat! Jangan dekati aku! Menjauh!" sorak Ayrin ketakutan, kemudian memutar tubuhnya dan merangkak menjauh sampai akhirnya bisa berdiri lalu berlari.

Tiba-tiba saja terlintas sebuah ide jahil di kepala Aken. Presensi Ivy yang sedang terkejut karena ia lempari kepala muncul dalam benaknya sebagai imajinasi. Tanpa pikir panjang Aken memungut lagi kepala tersebut dan membawanya berkeliling koridor istana sembari mencari letak keberadaan Ivy guna menjadikan imajinasinya nyata.

Aken mengulum senyum tipis, moodnya lumayan baik sehingga walau sudah berputar di lorong yang sama dua kali dia tidak marah-marah. Memastikan Ivy tak ada disekitar sini, Aken berpindah ke lorong lain kemudian mendapati presensi gadis itu berada di ujung sedang berbicara dengan seseorang yang tak bisa Aken lihat siapa namun ia tahu tangan yang terulur itu milik seorang pria.

Baru akan mendekat, langkah Aken terhenti kala tangan pria yang terulur ke arah Ivy bergerak cepat merangkul pinggang gadis itu kemudian menariknya sehingg tubuh mereka berdua menjadi lebih dekat kemudian dalam posisi itu Aken melihat bagaimana sosok Aken mencium bibir Ivy. Pun Ivy membalas ciuman itu, membiarkan dirinya di pojokan pada dinding diantara kurungan tangan-tangan besar pria berambut hitam itu.

Sementara itu sudut bibir Aken melengkung ke bawah, cemberut tanpa ia sadari. Merasa dikecewakan, Aken lalu berbalik pergi sambil memeluk kepala manusia itu di dadanya.

Mendadak perasaannya campur aduk. Kesal, sebal, jengkel. Tiga perasaan utama yang lebih menonjol dibanding perasaan lain. Aken ingin ke sana dan menghajar mereka berdua tetapi hal itu terlalu tidak bermartabat lagipula Ivy tak lebih daripada seorang pelayan rendah yang sempat menjadi budak pelampiasan nafsunya.

Sementara itu Ivy membuka satu matanya, melihat ke arah Aken yang berjalan menjauh dalam langkah gontai dan punggung selidikit membungkuk. Dalam hati ia langsung bertanya, "apa aku berhasil?"

***



Spam disini klo kamu gabut🤡

Villain Obsession Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang