Chapter 8

594 44 1
                                    

DIRA


Setelah bisa nguasain diri, aku duduk termenung di sofa ruang TV. Teh panas yang tadi aku bikin masih utuh di meja karena Mama sama Papa belum sempet minum teh itu tadi. Segala macam hal berkecamuk di dalam pikiranku.

Aku nggak tau berapa lama aku termenung, tapi aku dikagetkan dengan suara bel pintu apartemenku. Ya Tuhan... Sampai lupa! Aku kan ada janji makan malam bareng sama Raffa. Segera aku bangun dan berjalan cepat ke pintu. Begitu pintu dibuka, wajah tampan Raffa yang tampak segar menyapaku.

Kening Raffa sedikit berkerut melihatku. Matanya menatapku dari atas sampai bawah.

"Is everything okay?", tanya Raffa sambil meneliti mukaku

"Hmm.. Masuk dulu deh", aku tersenyum kecil sambil mempersilahkan Raffa masuk

Setelah pintu tertutup, Raffa mengikuti aku berjalan masuk ke dalam dan duduk di sofa yang aku dudukin tadi. Tatapan Raffa tertuju ke dua cangkir yang ada di meja.

"Tadi habis ada tamu?", tanya Raffa padaku

"Mama sama Papa", ucapku pelan. Raffa mengerjapkan matanya

"You okay?", tanya Raffa hati-hati. Aku menarik nafas panjang sebelum menggelengkan kepala

"Gue sama Papa berantem lagi tadi", aku menjawab sambil memainkan kuku jari

"Lo mau cerita?", tanya Raffa lagi

Aku terdiam sejenak. Ragu apakah aku harus cerita atau nggak. Tapi aku rasa aku butuh seseorang yang bisa dengerin apa yang ada di hati aku, dan nggak tau kenapa rasanya aku bisa percaya sama Raffa.

"Setiap gue ketemu sama Papa, pasti aja kita berantem. Tadi Papa lagi-lagi nge ungkit-ungkit masalah kerjaan gue. Dia lagi-lagi banding-bandingin gue sama ponakan-ponakannya. Katanya gue gak akan berhasil kalau gue terus-terusan pertahanin kerjaan gue. Gue ngerasa direndahin sama orang tua sendiri. Bisa gak sih sekaliii aja Papa tuh ngertiin gue? Selama ini selalu gue sama Mama yang berusaha ngertiin Papa, nurut apa kata Papa. Papa tuh gak pernah sekalipun nanya perasaan gue kayak gimana. Atau hal simpel kayak makanan kesukaan gue apa. Nggak pernah, Raf.."

"Sepanjang yang gue inget, gue gak pernah deket sama Papa. Dari gue kecil sampe sekarang, gue selalu penasaran. Gimana sih rasanya seorang anak perempuan yang deket sama Papanya? Gimana sih rasanya seorang anak perempuan bisa cerita apa aja sama Papanya? Katanya bapak itu cinta pertamanya anak perempuan, tapi kok gue nggak? Kalau banyak anak perempuan yang pengen punya pasangan kayak bapaknya, kok gue gak mau ya?"

Aku mengusap kasar air mata yang lolos jatuh ke pipi.

"Pernah gue sampe tanya ke Mama, gimana sih gue sebagai anak? Apa kurangnya gue sebagai anak dan apa yang harus gue improve? Rasanya saat itu gue pengen ngelakuin apapun yang bisa bikin Papa at least tau gimana perasaan gue. Tapi semakin lama, gue cape. Gue yang selalu berusaha tapi semakin gue berusaha rasanya Papa malah semakin jauh. Jadi di satu titik, gue mutusin buat lebih baik gue menjauh aja"

"Tapi mau sampe kapan gue kayak gini terus? Gue juga pengen kayak orang-orang yang bisa berinteraksi santai sama bapaknya. Gue pengen banget, Raf.. Apa keinginan gue terlalu berlebihan? Am i not worthy?", aku mulai terisak

Raffa mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku erat. Seketika rasanya tubuhku yang tadinya terasa dingin menjadi hangat.

"You are worthy. You deserve all the happiness in the world. Tapi mungkin lo butuh waktu yang lebih lama dari orang lain untuk mendapatkan kebahagian lo sama bokap lo. Gue yakin kok, suatu hari bokap lo bakalan bisa liat usaha lo selama ini. Orang tua mana sih yang gak bangga liat anaknya berhasil? Nggak ada satupun manusia dimuka bumi ini yang hatinya terbuat dari batu kok. Kalau udah liat lo sukses dan bahagia, pasti bokap lo bakalan berubah. Percaya deh sama gue", Raffa menatap mataku sambil jarinya mengelus punggung tanganku

"Tapi sampe kapan gue berjuang biar bisa diliat sama Papa? Lama-lama gue cape, Raf"

"Sampe bokap lo bisa liat lo. Dan sampe saat itu tiba, lo gak boleh putus asa. Lo gak boleh berhenti di tengah jalan. Gue percaya lo lebih dari bisa untuk membuktikan diri lo", ucap Raffa sungguh-sungguh

Aku menangis lagi. Kali ini bukan karena sakit hati, tapi karena aku tersentuh dengan perkataan Raffa. Rasanya hatiku menghangat ketika ada seseorang yang percaya pada kemampuanku selain Mama dan Kai.

"Thanks, Raf", aku tersenyum sambil menatap Raffa

"Anytime", balas Raffa

Kami berdua saling menatap. Nggak tau siapa yang mulai duluan, tapi semakin lama wajah kami semakin dekat. Bibir Raffa yang lembut mengecup bibirku. Perlahan aku memejamkan mataku. Bibir Raffa yang tadinya hanya diam lama-lama mulai bergerak. Secara insting, aku mengikuti pergerakan Raffa. Tubuh Raffa semakin menekan tubuhku sehingga aku bersandar di sofa.

Aku membuka mulutku ketika gigi Raffa menggigit bibir bawahku. Sesuatu yang kenyal dan lembut menyapa lidahku. Gelenyar yang udah lama nggak aku rasain kembali menguasai tubuhku. Semakin lidah Raffa menyusup ke dalam mulutku, semakin aku mengeratkan tanganku yang nggak tau sejak kapan udah memeluk leher Raffa.

Tanganku meremas rambut Raffa seiring dengan lumatan-lumatan yang semakin dalam. Sebelah tangan Raffa ada di belakang leherku dan menekan halus sehingga bibir kami semakin menempel satu sama lain. Lenguhan ku terdengar lirih ketika telapak tangan Raffa yang besar dan hangat masuk ke dalam bajuku dan mengelus pelan pinggangku.

"Shit!", tiba-tiba Raffa menarik diri sambil memejamkan mata

Aku menatap Raffa bingung. Nafas kami masih memburu.

"Kenapa?", tanyaku bingung

"Shit! Shit!", Raffa terus memaki sambil sebelah tangannya meremas rambutnya

"Raffa..", panggilku

Mata Raffa terbuka. Matanya yang tajam menatap mataku. Tapi kali ini nggak ada hangat disana. Hanya tajam.

"Ini salah. Nggak seharusnya kita kayak gini", desis Raffa

"Apa yang salah? Gue kira kita.."

"Nggak! Ini salah. Kita cuman kebawa suasana. Ini harusnya nggak boleh terjadi", mata Raffa terlihat kalut

"Salah? Apa yang salah?", aku beneran nggak ngerti, rasanya tadi kami sama-sama suka

"I should go", ucap Raffa lalu pergi gitu aja dari apartemenku tanpa menjawab pertanyaanku

Aku terdiam kaku. Seketika hatiku terasa sakit, sakit yang familiar. Sakit hati karena penolakan. Rasanya nggak ada yang menginginkan aku di dunia ini. Dua laki-laki yang tanpa sadar mengisi hatiku sama-sama menolak kehadiranku.

 Dua laki-laki yang tanpa sadar mengisi hatiku sama-sama menolak kehadiranku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Place in Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang