DIRA
Sesampainya di apartemen, aku turun duluan dari mobil dan berjalan ke lift dengan cepat. Rasanya aku udah nggak kuat ada di deket Raffa lebih lama lagi. Lift datang dan aku langsung masuk ke dalam lift tanpa nungguin Raffa yang keliatan lari kecil dari arah mobilnya menuju lift.
Setelah pintu lift tertutup dan lift bergerak ke atas, aku mendesah lega sambil menyandarkan tubuhku pada dinding lift yang dingin. Rasanya cape banget deh. Bukan cuman cape fisik karena kerja dari kemarin malem, tapi cape hati juga gara-gara Raffa.
Mungkin sedikit berlebihan kalau aku bilang aku trauma sama penolakan, tapi aku bener-bener gak suka sama penolakan. Dari kecil sampe sekarang tuh aku selalu ngerasa penolakan dari Papa, dan aku nggak butuh ngerasain itu lagi dari orang lain. Jadi ketika Raffa pergi gitu aja malem itu, aku ngerasa secara nggak langsung dia udah nolak aku. Rasanya susah banget buat aku ada di deket dia. Tapi nyebelinnya setelah malem itu dia malah terus-terusan ada di deket aku. Bikin hati ku galau aja sih..
Aku membuka pintu apartemen dan menutupnya dengan cepat. Ku simpan tasku di meja TV dan menuju ke dapur untuk minum. Tapi baru aja aku mau ngambil gelas, aku keingetan ponselku yang masih ada di Raffa. Aku mengumpat sambil kembali menyimpan gelas di lemari. Mau gak mau aku harus nyamperin Raffa untuk ngambil ponselku.
Dengan berat hati aku keluar dari unitku dan menuju ke unit Raffa. Aku menghela nafas sebelum memencet bel unit Raffa. Nggak lama Raffa membuka pintu dan menatapku diam.
"Gue mau ngambil hape gue", ucapku
"Ada di dalem", ucap Raffa sambil membuka pintu lebar
"Tolong ambilin aja deh", ucapku enggan
"Kalau mau ambil hape lo, masuk ke dalem", lalu Raffa meninggalkan aku gitu aja
Mau nggak mau aku masuk ke dalam apartemen Raffa. Rasanya udah lama aku nggak masuk kesini, biasanya Raffa yang suka numpang makan di apartemenku. Aku duduk di sofa sedangkan Raffa masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian Raffa keluar dari kamarnya dan duduk di sebelahku.
Ihhh kenapa dia harus duduk disini sih?? Kan sofa di apartemennya dia lebar, bisa kali nggak usah nempel gini duduknya. Aku sedikit menggeser dudukku menjauh dari Raffa lalu menyodorkan tanganku untuk meminta ponselku.
"Mana hape gue?", pintaku
Bukannya ngasih ponselku, Raffa malah mendekatkan tubuhnya dan memelukku erat. Seketika aku membatu. Nafasku tercekat dan jantungku berdebar dengan kencang. Kenapa Raffa peluk aku??
Tubuhku merinding ketika Raffa semakin merapatkan wajahnya di leherku. Hembusan nafasnya yang hangat terasa begitu jelas di leherku. Nggak tau kenapa tapi aku nggak berani bergerak. Setelah beberapa saat, Raffa melepaskan pelukannya. Tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
"Maaf udah ninggalin lo gitu aja malem itu", ucap Raffa pelan. Aku tertegun.
"Dari pertama gue liat lo, gue ngerasa ada sesuatu yang berbeda. You got my attention. Cara lo bicara, cara lo tersenyum, cara lo membawa diri, semua yang ada di diri lo selalu menarik dimata gue. Tapi gue takut. Gue takut sama perasaan ini. Karena gue tau, kalau gue masuk, bakalan sulit buat gue untuk keluar", lanjut Raffa
Aku mendengarkan Raffa dengan bingung. Maksud Raffa apa sih?
"Dari awal gue udah tau kalau gue suka sama lo. Dan semakin lama perasaan itu semakin besar", ucap Raffa sambil menatap mataku. Deg! Jantungku berdebar dengan keras. Jadi selama ini Raffa juga suka sama aku??
"Ciuman malem itu... It was.. I've never felt anything like it before. Setelah ngerasain ciuman lo, sesuatu dalem diri gue pengen lebih dari itu. Tapi gue gak bisa. Makanya gue pergi. Gue coba buat jaga jarak sama lo. Tapi semakin gue berusaha menjauh, gue semakin tersiksa. Apalagi setelah liat lo sama Ergi. Gue.. Gue berusaha buat biasa aja tapi gue gak bisa, Ra. Gue gak bisa pura-pura kalau gue biasa aja. Gue gak bisa liat lo sama laki-laki lain", suara Raffa semakin lama terdengar semakin lirih
"Lo egois", ucapku dingin. Mendengar penjelasannya aku malah jadi emosi
"I know", bisik Raffa
"Lo nolak gue. Lo ninggalin gue. Tapi lo gak terima kalau gue deket sama laki-laki lain. Mau lo itu apa sih, Raf?!", pekikku. Aku menarik tanganku dari genggaman Raffa
Raffa hanya diam sambil menatap lantai. Aku menatap Raffa dengan nafas yang memburu. Nggak kunjung mendapat jawaban dari Raffa, aku menyentakkan tubuhku untuk berdiri dan berjalan menuju pintu unit Raffa. Peduli amat sama ponsel yang belum aku ambil.
Tapi belum sampai aku ke pintu, badanku tersentak ke belakang sampai menubruk tubuh Raffa. Raffa memelukku erat dari belakang.
"Jangan pergi. Please", bisik Raffa
"Gue gak bisa lo giniin, Raf. Cukup Papa yang nolak kehadiran gue. Gue gak butuh penolakan lain", ucapku dengan suara bergetar
"Gue gak nolak lo. Gue cuman..."
"Udah lah, Raf. I get it. Lo takut. Tapi lo jangan bawa-bawa gue ke dalam ketakutan lo. I deserve better", ucapku
Raffa melepaskan pelukannya dan membalikkan tubuhku. Tangannya yang besar memegang kedua bahuku.
"Gue akan jelasin semuanya ke lo. Oke? Please.. Jangan pergi dulu", pinta Raffa
"Fine", bisikku. Aku memang butuh penjelasan.
Raffa mendesah lega lalu menarikku kembali duduk di sofa.
"Gue pernah punya pacar. Namanya Haifa. Untuk pertama kalinya gue pacaran secara serius sama sama dia. Dia adik kelas gue waktu di SMA. Awalnya gue kira setelah gue kuliah di Jogja, hubungan kami gak akan bertahan lama. Tapi ternyata dia berhasil masuk UGM dan kami kuliah bareng-bareng. Dia bisa ngimbangin gue, dia bisa berteman baik sama temen-temen gue, pas gue kenalin ke Ibu, beliau juga suka sama Haifa. Saat itu gue pikir dia bakalan jadi cinta sejati gue. Makanya ketika dia lulus kuliah, gue ngelamar dia. Bukan lamaran formal antar keluarga, tapi gue bilang ke dia kalau gue mau dia jadi istri gue dan dia bilang dia mau, setelah itu kami balik ke Jakarta", Raffa dengan ragu menatapku
"Gue bilang ke Haifa kalau gue pengen S2, ternyata dia mendukung gue, malah ikutan daftar di kampus yang sama supaya dia bisa terus bareng sama gue. Tapi kita harus kecewa ketika gue diterima dan dia nggak. Tadinya gue mau batalin S2 gue, tapi Haifa bilang sayang kalau gue batal berangkat. Akhirnya gue berangkat sendiri sedangkan Haifa kerja di perusahaan keluarganya di sini. Awalnya kami baik-baik aja. Tapi intensitas kami berkomunikasi semakin lama semakin berkurang. Gue sekali lagi berpikir kalau mungkin gue sama dia bakalan putus. Tapi ternyata pas gue udah selesai kuliah dan pulang ke Jakarta, dia jemput gue di bandara. Dan semenjak itu hubungan kami kembali kayak sebelum gue berangkat ke Melbourne", Raffa berbicara panjang lebar padaku
Apa sih maksudnya Raffa cerita gini ke aku?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Place in Your Heart
RomanceLove at first sight. Aku gak pernah percaya sama yang namanya cinta pada pandangan pertama. That's bullshit, you know.. Tapi semuanya berubah setelah suatu hari sebuah tatapan mata yang tajam tapi hangat menembus masuk langsung ke hatiku. 21+ Welcom...