Sudah beberapa menit berlalu Dirga memejamkan matanya, tapi saat dia akan memasuki alam mimpinya selalu digagalkan oleh pergerakan orang disampingnya ini. Awalnya Dirga mengabaikan, dan berpikir bahwa Kiara akan diam dengan sendirinya. Tapi lama-kelamaan Dirga juga tidak tahan karena kantuk yang memulai menyerangnya. Dirga membalik badannya menyamping ke arah Kiara yang membelakangi dirinya.
"Masih sakit perutnya?" Tanya Dirga yang dapat mengetahui bahwa Kiara belum memejamkan matanya sama sekali. Kiara menoleh sedikit ke arah Dirga dan mengangguk pelan.
"Mau saya ambilkan air hangat buat kompres? Atau kamu mau minuman yang hangat-hangat mungkin?" Dirga bertanya lagi.
"Nggak, udah dikompres kok ini." Kiara menjawab, yang diangguki oleh Dirga. Dirga mencoba memejamkan matanya kembali, tapi rintihan samar-samar yang didengarnya membuat dia kembali harus membuka matanya. Kasihan juga sebenarnya pada Kiara.
Dirga mengamati tubuh Kiara yang meringkuk dengan kedua tangannya bertumpu di perutnya. Dirga menjadi tidak tega melihat istrinya yang kesakitan di malam hari seperti ini. Pastinya Kiara juga merasa sudah ngantuk, tapi tidak bisa tidurnya dengan nyaman karena rasa sakitnya.
Dirga menghela nafas panjang sebelum mengambil tindakan. Sekali lagi dia menyakinkan hatinya, bodo amat jika nantinya Kiara akan berontak.
Dalam sekali tarikan pelan, tubuh Kiara mundur dan langsung menabrak dada bidang Dirga yang bisa dirasakannya tidak tertutup kain apapun. Tau sendiri kan kebiasaan Dirga.
Dirga dengan lancarnya, menyelipkan salah satu tangannya sebagai bantalan untuk Kiara. Dan satu tangannya lagi memeluk pinggang Kiara. Kakinya Dirga belitkan pada Kiara, mencegah Kiara untuk memberontak.
"Tidur, udah malam banget ini." Bisik Dirga dengan suaranya yang berat tepat di samping telinga Kiara. Dirga semakin memasukkan Kiara kedalam pelukannya. Wajahnya dia benamkan di bagian belakang leher Kiara.
Kiara terdiam membantu, apalagi dia bisa merasakan hembusan hangat nafas Dirga yang menerpa belakang lehernya.
Tubuhnya terasa hangat karena bersentuhan dengan tubuh pria yang menjadi suaminya ini. Bisa dirasakan dibawah sana tangan Dirga bekerja mengusap-usap perutnya yang terasa nyeri.
"Mungkin disini bakal tumbuh bayi makanya sakit banget." Ucapan Dirga ngawur, setelahnya dia mengecup leher bagian belakang Kiara.
Kiara tambah mematung mendengar itu. Dia mengingat pada malam itu Dirga tidak menggunakan pengaman sama sekali. Tiba-tiba Kiara menjadi gelisah tapi jika dipikir-pikir kemungkinan itu kecil adanya. Kiara tidak dalam masa subur saat itu. Dan tidak mungkin langsung jadi kan dalam sekali saja.
Kiara merasakan hembusan nafas teratur, dan saat dia melirik ke arah Dirga ternyata laki-laki itu sudah tidur lelap. Pasti Dirga hanya mengigau tadi dan tidak sadar dengan apa yang dikatakannya.
Kiara menguap, hembusan nafas Dirga yang menerpa lehernya membuat area disana menjadi hangat. Elusan tangan diperut yang tidak berhenti juga sedikit bisa mengurangi rasa nyerinya. Tidak Kiara duga, ternyata dibalik sifat kakunya Dirga laki-laki ini memiliki perhatian yang begitu besar padanya.
Kiara pun membiarkan saja posisi mereka tetap seperti ini, ternyata posisi ini bisa membuat nyaman keduanya. Kiara mengikuti Dirga memejamkan mata dan tidak lama setelah itu dia pun menyusul Dirga ke alam mimpi.
•
•
Kiara bangun saat matahari baru ingin memancarkan sinarnya pagi ini. Karena ketidak nyamanan yang dirasakannya. Dan benar saja saat dia melihat ke bawah, bisa terlihat bercak merah yang yang saat ini telah mengotori sprei. Buru-buru Kiara berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan dirinya lebih dulu.
Tidak membutuhkan waktu lama, Kiara berinisiatif untuk membangunkan Dirga.
"Dirga bangun, udah pagi." Kiara menggoncang tubuh Dirga pelan. Dirga menggeliat sejenak tapi laki-laki itu bukannya membuka mata malah menenggelamkan wajahnya di bantal.
"Dirga bangun." Kiara mencoba lagi, dia menggoncang lebih keras tubuh Dirga. Tidak hanya itu, dia juga menarik bantal yang digunakan membuat Dirga pun mau tidak mau harus terbangun.
"Kamu tumben udah bangun aja?" Pertanyaan pertama yang dilayangkan oleh Dirga.
Kiara merenggut, merasa tersindir keras oleh pertanyaan yang Dirga layangkan. Tapi saat ini Kiara tidak mood untuk berdebat, jadilah dia hanya berdeham pelan menjawab pertanyaan Dirga. Kiara menarik selimut yang masih menutupi kaki Dirga. Dirga mengacak rambutnya sambil menunduk, pandangan matanya tertuju pada celana pendeknya.
Dirga mengernyit saat melihat noda yang ada disana. Dirga akan memegangnya untuk memastikan, tapi buru-buru dicegah oleh Kiara dengan menepis pelan tangannya. Kita tentu saja tau noda apa itu. Bodoh, kenapa bisa sampai kesana sih?
Oh iya Kiara lupa, tadi malam Dirga kan tidur dengan memeluknya. Tidak heran kenapa bisa noda itu sampai disana."Udah jangan dipegang, buruan turun." Ucap Kiara ketus. Dia menunduk karena malu.
Dirga mendongak menatap Kiara dengan heran. Tapi saat dia melirik ke aras samping, tempat Kiara tidur dan menemukan noda yang sama dia langsung mengerti.
"Tembus ternyata." Gumamnya pelan yang masih bisa didengar oleh Kiara. Kiara melotot mendengar itu. Kenapa harus diperjelas segala sih. Melihat Dirga yang memasuki kamar mandi, Kiara menghela nafas lega. Dengan cepat Kiara menarik sprei untuk segera dia masukkan kedalam keranjang sebelum dia bawa ke ruang laundry.
Kiara turun dari lantai dua, dia menuju ruang laundry dan langsung saja mencuci sprei itu. Sebelum memasukkan ke dalam mesin cuci, Kiara menguceknya terlebih dulu sampai noda itu menghilang.
Kiara mengusap peluh di keningnya. Ternyata capek juga ya mengerjakan pekerjaan rumah, ini hanya mencuci loh belum yang lain. Kiara memasukkan sprei ke mesin cuci lalu mulai menggiling nya. Karena tidak mungkin menunggu, Kiara pun melangkah menuju dapur dan ingin membuat teh untuk dirinya sendiri.
Saat mengambil teh dari deretan rak, Kiara melihat bubuk kopi yang biasa Dirga seduh setiap paginya. Tiba-tiba Kiara teringat, bahwa setelah mereka menikah Kiara belum pernah sama sekali membuatkan Dirga kopi.
Kiara merasa miris mengingatnya, dia merasa seperti istri yang tidak berguna. Akhirnya dengan inisiatif sendiri, Kiara pun mengambil satu gelas lagi dan menyeduhkan kopi untuk Dirga.
Tepat saat kopi sudah jadi, Kiara mendengar suara langkah kaki Dirga yang menuruni tangga. Dilihatnya Dirga masih menggunakan kaos dan celana pendek. Pasti laki-laki itu akan menunju ruang gym, Kiara yakin itu.
"Kopi?" Kiara menyerahkan segelas kopi untuk Dirga sebelum laki-laki itu melewatinya.
Dirga mengangkat satu alisnya, lalu mengambil kopi dari tangan Kiara.
"Kamu yang buat sendiri?" Dirga bertanya sebelum menyeruput kopi buatan Kiara. Kiara mengangguk, senyum tipis terbit diwajahnya saat melihat Dirga yang menyeruput kopinya dengan pelan.
"Enak." Dirga mengomentari kopi buatan Kiara setelah berhasil meresapi rasanya. Kiara tersenyum, karena Dirga memuji kopi buatannya.
"Nanti kalau mau buatin saya lagi, gulanya dikurungi. Saya lebih suka kopi yang pahit." Dirga tersenyum, menaruh kopinya di atas meja lalu mengelus kepala Kiara pelan. Dan seperkian detik kemudian, sebuah kecupan mendarat di pipi Kiara sebelum Dirga meninggalkannya.
Pipi Kiara merona, seharusnya tidak seperti ini. Dia sudah biasa mendapat perlakuan seperti itu dari Papanya. Tapi mengapa saat Dirga yang melakukannya sensasinya sangat berbeda?
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
RomanceKiara dipaksa tunduk pada perintah Papanya yang ingin menjodohkannya dengan anak dari seorang pejabat, Dirga namanya. Ancaman yang diberikan Papanya mampu membuatnya tidak bisa berkutik. Kiara pikir mudah untuk menjalankan perjodohan yang bisa di bi...