Chapter 3

167 19 5
                                    

"Ih, Gea. Kenapa ya kita teh malah banyak bahas si abang anjir. Padahal awalnya teh urang mau ceritain yang lain."

"Apa? Cepetan ih," balas Gea.

"Ih, tau enggak sih? Urang kayaknya baper deh sama temen sekelas urang."

"SIAPA? GANTENG?"

"Atuh biasa we, ulah jojorowokan (biasa aja, enggak usah teriak-teriak)," tegur Tiara.

Gea cengengesan. "Liat dulu manusianya sebelum maneh cerita."

"Ih eweuh (enggak ada) fotonya anjir."

"Foto kelas?" tanya Gea.

"Enggak pernah foto kelas anjirr."

"Meni watir (kasian)," ledek Gea.

"Ih jadi ya. Si Anrez—"

Tiara pun menceritakannya dari awal sampai akhir. Dimulai dari ia yang meneriakkan nama Anrez sampai berujunglah mereka bisa satu kelompok.

"Sebenernya urang belum yang gimana-gimana sih. Cuman urang kaget aja dia teh asa beda weh gitu sikapnya. Apalagi dia kalau manggil urang 'Rara' teh asa gimana gitu hati aing teh. Tapi sekarang mah jarang ngobrol sih. Semenjak tugas prakarya selesai dan uang udunan udah dia terima, kita enggak pernah ada komunikasi lagi."

"Nah, makanya jangan terlalu berharap dulu dan jangan baper dulu. Siapa tau dia orangnya emang enggak enakan, makanya gitu. Siapa tau ini mah, dia baiknya kesemua orang. Jangan berekspektasi lebih."

Tiara mengangguk. "Aduh ini mah aing udah pupus tiheula (dari awal)."

"Semangat. Kalau jodoh enggak ke mana," kata Gea dihadiahi kekehan oleh Tiara.

"Jauh amat udah ngomongin jodoh."

•••

Tepat pada pukul enam pagi, Tiara sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Ia menuruni satu per satu anak tangga sambil menjinjing tas sekolahnya dan sepatunya.

"Pagii," sapa Tiara kepada keluarganya yang sudah berkumpul di meja makan.

Tiara berjalan ke arah ayahnya kemudian mengecup pipi sang ayah, begitupun dengan bunda dan kakaknya.

"Hari ini ada ekskul enggak, Dek?" tanya Rafka.

Tiara mengangguk. "Hari ini ada siaran."

"Mau bawa motor?" tanya Ayah.

"Kayaknya bawa aja deh."

"Enggak usah. Nanti sama Aa dijemput," ucap Rafka.

Tiara menggeleng tanda menolak. "Enggak ah. Aku mau bawa motor aja. Lagian nanti dari sekolah ke Ardan pake apa?"

"Oh, siaran di Ardan? Kirain di sekolah. Jauh banget dong nanti," balas Rafka.

"Biasanya juga jauh. Kenapa Aa baru bilang jauh sekarang?"

Rafka berdecak. Mulai kesal dengan adiknya yang tidak mau menurut. "Kan biasanya kamu enggak bawa motor. Kalau siaran di sana biasanya kamu suka dijemput sama Aa atau sama Ayah."

"Udah, A. Biarin adeknya bawa motor aja, biar mandiri," sela Ayah.

"Ih, kok Ayah gitu sih? Itu jauh loh, Yah, di Cipaganti."

My Youth ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang