Tzuyu tidak berdaya dikala ibunya memaksa untuk mengajaknya pulang. Trauma masa kecilnya kembali menghantui pikiran pria berusia 20 tahun itu. Ibunya memaksa untuk ikut pulang ke rumah kontrakan Tzuyu. Tidak peduli seberapa sesak dan tidak nyaman putranya ibu itu tidak peduli.
"Cepat siapkan makan malam untukku, aku sangat lapar." Ibu Tzuyu memberikan perintah. Tidak peduli jika bahan makanan yang ada di kulkas Tzuyu sudah menipis.
Hanya tersisa sayuran sawi di dalam kulkas itu. Karena sudah akhir bulan, Tzuyu harus menghemat pengeluarannya. Gajinya selama menjadi kurir makanan yang tidak seberapa hanya mampu menghidupinya seorang diri. Tzuyu mulai cemas karena gajinya tidak akan sanggup untuk menghidupi dua orang. Ditambah lagi pengeluaran untuk tugas-tugas di kampus sedang tinggi-tingginya.
Ibunya sudah pasti tidak peduli dengan kesulitan yang diderita putranya. Selama ini memang hanya Tzuyu yang disuruh bekerja. Karena bagi ibunya Tzuyulah yang harus menggantikan tugas ayahnya.
Ayah Tzuyu pergi meninggalkan mereka sewaktu Tzuyu masih kecil. Sejak saat itu ibu Tzuyu mulai membebankan putranya dengan berbagai tanggung jawab. Jika ibunya tidak puas, Tzuyu sering diberi hukuman yang sangat tidak manusiawi.
"Ibu tunggulah dulu. Aku akan pergi membeli ramen." Tzuyu dengan ragu-ragu tidak berani menatap wajah ibunya.
"Cepatlah!, jika lima menit ramen itu tidak ada di hadapanku maka bersiaplah menerima kemarahanku." Ibu Tzuyu menyilangkan kedua tangannya di dada, smirk-nya melebar dikala tubuh putranya mulai gemetar.
Tzuyu berlari dengan sekuat tenaga, bahkan dengan kecepatannya saat ini mungkin dia sudah bisa menyaingi juara olimpiade Usain Bolt.
Sebenarnya dengan waktu lima menit sudah pasti tidak akan cukup bagi Tzuyu untuk menyajikan makanan untuk ibunya. Tidak peduli seberapa cepat dia berlari, paling tidak membutuhkan waktu tiga menit untuk sampai di warung. Belum lagi waktu yang diperlukan untuk menyeduh mie itu. Dan syukur-syukur jika toko itu masih buka di jam seperti ini.
Pak Jeongyeon sang pemilik toko kelontong terheran-heran melihat pria yang tengah tersengal-sengal di hadapannya.
"Pak Jeong tolong berikan aku ramen apa saja secepatnya!," Tzuyu menyodorkan uang kepada Jeongyeon dengan nafas tersengal-sengal.
Melihat wajah serius dan genting Tzuyu membuat Jeongyeon dengan cepat menyuruh istrinya menyeduh mie untuk Tzuyu.
"Nayeon tolong seduhkan mie untuk Tzuyu," Jeongyeon berteriak memanggil istrinya.
"Mengapa kamu tersengal-sengal seperti itu nak?. Apa ada yang mengejarmu?," Jeongyeon mengelus-elus pundak Tzuyu. Tzuyu mengeluarkan banyak keringat dingin, dan wajahnya putih pasi.
Jeongyeon dan Nayeon memang sudah akrab dengan Tzuyu. Tzuyu adalah pelanggan setia toko mereka. Jongyeon sering memberi Tzuyu beras dengan harga murah, karena dia tahu Tzuyu tidak memiliki cukup uang untuk hanya sekedar makan nasi. Nayeon dan Jeongyeon sudah cukup lama menikah, namun sayangnya mereka belum dikaruniai momongan. Mereka sering meminta Tzuyu untuk menjadi anak mereka. Nayeon juga sangat menyayangi Tzuyu, dia sering mengantarkan makanan ke rumah Tzuyu.
"Tzuyu anakku ini ramenmu, sudah bibi bungkuskan." Nayeon menyodorkan ramen yang masih hangat itu. Dia mengusap wajah Tzuyu yang berpeluh. "Oh apa yang terjadi kepada putraku?," Nayeon menatap Tzuyu dengan wajah cemas.
"Tidak apa bi, Tzuyu hanya kepanasan. Terima kasih atas bantuannya." Tzuyu membungkuk dan segera berlari pulang.
Jeongyeon dan Nayeon menatap kepergian Tzuyu yang tergesa-gesa dengan semakin khawatir. "Sepertinya ada yang tidak beres Jeong," Nayeon menatap suaminya. "Aku khawatir dengan Tzuyu," Nayeon menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya.