Flashback
"Apa yang terjadi San?, bagaimana bisa kamu terlibat dengan kejadian hari ini?." Dokter Miyeon menatap gadisnya dengan tegang.
"Aku tidak sengaja melihat pria itu terluka ketika hendak pulang. Jadi aku menolongnya." Sana menjawab pria dihadapannya dengan tenang.
"Menolongnya?." Miyeon mengusap luka yang ada di leher Sana. "Lalu ini apa?. Mengapa lehermu tersayat?."
Sana menepis tangan lelaki itu. "Lupakan tentang itu. Aku perlu bantuanmu."
Miyeon mengangkat sebelah alisnya.
Tidak biasanya seorang Minatozaki Sana meminta bantuan kepada orang lain. Kecuali jika memang benar-benar darurat. Sedari kecil sosok Sana terdidik mandiri dan disiplin.
"Aku tahu kamu mungkin sedikit bingung, jadi jika sesuatu terjadi kepada pria yang kau rawat, tolong hubungi aku," Sana memberikan nomor telepon ruangannya, kepada Miyeon. Nomor itu hanya biasa digunakan saat keadaan darurat.
"Sepertinya kamu tahu lebih soal pasien itu?," tanya Miyeon.
Sana menghembuskan nafasnya berat. Dia menceritakan pengalamannya saat dulu merawat Tzuyu. "Jadi kemungkinan trauma itu bisa kembali lagi." Sana menundukkan wajahnya.
Miyeon mengangguk paham dengan maksud Sana. "Jika memang pria itu menunjukkan gejala seperti yang kamu katakan. Aku akan segera memindahkannya ke ruanganmu."
"Terima kasih," ucap dokter Sana.
"Hanya itu saja?," tanya Miyeon.
"Ck, memangnya apa lagi?." Tanya Sana dengan wajah letihnya.
Cup!
Miyeon mencium kening wanita yang ada dihadapannya itu. "Mau aku antar pulang?," tawar Miyeon.
Sana menggeleng. Dia tahu Miyeon mendapat jadwal piket malam. Sana tidak ingin merepotkan pacarnya itu. "Aku akan pulang naik taksi saja."
Wanita itu melenggang pulang dengan lesu.
.
Getaran ponsel membuat wanita yang tengah terlelap itu mengerjap seketika. Pagi ini Sana dibangunkan oleh telepon dari Miyeon.
Sana, pasien bernama Tzuyu itu menunjukkan gejala PTSD (post-traumatic stress disorder), aku akan memindahkan dia ke ruang psikiatri. Kau tanganilah dia.
Sana bergegas turun dari ranjang dan segera membersihkan dirinya. Bodoamat dengan rasa ngantuknya, dia harus segera menangani Tzuyu. Hanya butuh waktu lima menit bagi Sana untuk bersiap, karena ia sudah terlatih untuk menangani situasi darurat. Waktu adalah segalanya.
Tidak peduli dengan perut yang keroncongan karena belum sarapan. Sana lebih memilih untuk fokus membaca laporan medis yang dikirim oleh Miyeon.
"Mungkinkah Tzuyu mengalami kecenderungan rasa takut berlebih pada hal yang biasa-biasa saja?" Sana bergumam dalam hati.
"Dosen Minatozaki Sana?" Dahyun membungkuk ke hadapan dosennya tersebut.
Sana sedikit terkejut melihat pria yang ada di hadapannya.
Bukankah dia salah satu mahasiswa kedokteran yang sempat aku ajar di kampus?. Apakah dia mengenal Tzuyu?. Pikir Sana.
"Dokter tolong periksa anak saya ya," ucap seorang wanita paruh baya. Dia memohon dihadapan Sana.
Anak saya?. Apakah Tzuyu punya ibu baru?. Sana kembali bergumam dalam hati.
"Aku dengar anda adalah dokter terbaik di bidang ini. Saya mohon bantuan anda." Seorang pria paruh baya menatap Sana dengan penuh harapan.