Setelah kelulusan dan mendapatkan gelar sarjana ekonomi, aku diminta langsung bekerja di perusahaannya papa. PT. Sinanwijaya land. Yang bergerak di bidang properti, merupakan salah satu perusahaan ternama di Indonesia.
Mengerjakan sesuatu yang bukan kita minati itu tidaklah mudah. Aku bukanlah orang yang bebas menentukan pilihan dihidupku sendiri. Sebagai anak tunggal, segala tanggung jawab papa akan di tangguhkan kepada aku sebagai penerusnya.
Awalnya aku menolak semua itu, namun melihat perjuangan papa yang mendirikan perusahaan itu dengan susah payah, hingga menjadi perusahaan ternama dan di kenal banyak orang. Membuat aku menyerah pada impian aku, menjadi seorang desainer, dan memilih untuk melanjutkan membangun perusahaannya.
Tapi kendalanya, aku bukanlah orang yang menyukai keramaian, bahkan aku tidak pernah mengikuti setiap ada acara event perusahaan. Apalagi mendengar pembahasan yang aku tidak mengerti sama sekali. Di tambah lagi dengan segala sifat kecerobohan yang masih sering aku lakukan.
Setelah berpikir panjang, akhirnya hari ini aku berada di depan gedung yang menjulang tinggi. Kakiku menanjakkan di lantai lobi utama. Aku belum memberitahu papa aku jadi masuk hari ini. Setelah insiden marahan semalam. Aku memutar pandanganku di sekitar. Mendekat ke resepsionis pada seorang perempuan 'Sarah' tertera di bad namanya.
Walaupun aku adalah anak pemilik perusahaan ini. Tapi tidak semua staf dan pegawai mengenal aku. Itu murni keinginan aku sendiri. Aku merasa lebih bebas jadi diri sendiri, tanpa di segani saat aku bertemu mereka.
"Selamat pagi, mba? Ada yang bisa di bantu?" tanya mba resepsionis sopan.
"Pagi mba. Apa pak Herman, ada di ruangannya?"
"Sebelumnya sudah buat janji, mba?"
"Belum mba, tapi saya ingin bertemu sekarang."
"Mohon maaf, mba. Sebaiknya buat janji dulu jika ingin bertemu dengan beliau."
"Tapi..."
"Lana? Sudah lama kamu tidak ke sini?"
Seorang perempuan dengan celana panjang dan jas hitam rapi, berdiri di sebelahku. Aku tersenyum melihat siapa menyapaku.
"Bu Dewi. Kebetulan ada ibu di sini!"
ujarku semangat bertemu sekretarisnya papa. Aku sudah meneleponnya tadi, namun panggilannya tidak diangkat. Sedangkan papa aku masih segan menghubunginya, kalo sedang marahan dengan papa, lebih baik bertemu dan bicara langsung."Aku ingin bertemu, papa."
Bu Dewi melihat lingkaran jarum jam di pergelangan tangannya, "Oh, masih ada waktu lima belas menit lagi, sebelum meetingnya di mulai." jelas Bu Dewi.
Aku langsung menuju ruangan papa,
Sebelum aku pergi, aku sempat mendengar Bu Dewi memperkenalkanku pada resepsionis tadi, yang baru bekerja satu bulan, untuk tidak lagi menahanku masuk.Langkahku mendekat ke lift, yang di khususkan untuk pejabat dan orang penting yang diperbolehkan. Selain mengejar waktu aku juga malas bertemu orang banyak. Ruang papa ada di lantai dua puluh. Pintu lift kembali terbuka di lantai tiga belas.
Seorang pria dengan setelan jas hitam masuk, dia hanya melihat kearahku sekilas, tangannya memencet angka dua tujuh. Tidak ada basa basi apapun, kami hanya berdiam sampai hampir tiba di lantai ruangan papa, aku bersiap untuk keluar. Namun kakiku terasa keram, height heels baru, yang kukenakan cukup tinggi , saat baru menggerakkan kaki satu langkah, aku kehilangan keseimbangan tubuh , reflek aku menarik apa yang ada di sekitar.
Tanpa sengaja tanganku menarik tangan pria di sebelahku, namun ia mampu mengimbanginya, dia menarikku dengan cepat menahan ke dinding sisi belakang lift agar kami tidak mendarat ke lantai, posisi kami berhadapan sangat dekat dengan tanggannnya masih memegang lenganku. Dia melihatku dengan sangat tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alahna (The End)
SpiritualMenikah satu kata yang belum terlintas untuk sekedar bayangan ada di hidupnya saat ini. Alahna bukanlah gadis yang bebas menentukan pilihan. Sebuah tanggung jawab besar sedang ditangguhkan pada pundaknya. Menguburkan mimpi menghidupkan mimpi orang l...