"Alif."
"Alip."
"Ba."
"Ba."
"Ta."
"Baba!"
Bacaan huruf Al Qur'an terjeda ketika ia berlari memeluk kaki seorang pria baru saja tiba, dengan jas navy yang masih melekat pada tubuhnya."Baba!" Maura mengangkat tangannya ke atas sembari merengek minta digendong.
"Maura!" Pria itu langsung menggendongnya dan menciumi seluruh wajah anak kecil yang beranjak penuh dua tahun.
Aku bangkit menghampiri mereka, "Kamu sudah makan sayang?" Tangannya kuraih menyalami dan menciumnya.
"Belum." Arhan menyerahkan tas dan jas yang baru saja dibuka menyisakan kemeja senada.
"Kamu mau makan atau mandi dulu?"
"Makan, aku lapar banget."
"Aku siapin makanannya dulu ya!"
"Maura sama baba dulu, ya! Umma mau ke dapur sebentar." Dia mengangguk dan terus menempel pada Arhan.
Semenjak memiliki Maura aku punya dua tugas utama. Pertama jadi ibu rumah tangga dan kedua pengelola perusahaan. Meskipun papa masih banyak ikut andil di dalamnya. Setelah mengalami stroke ringan akibat kelelahan berlebihan. Papa memilih pensiun dini. Membagi dua waktu itu menjadikan aku wanita super sibuk.
"Bi, tolong bikinkan satu cangkir teh hangat, ya!" pintaku pada bibi yang baru selesai cuci piring. Tanganku masih sibuk mengaduk sup.
"Iya, bu. Bibi bikinkan sekarang!"Arhan tipikal orang yang tidak suka makanan luar, aku tinggal memanaskan sup ayam yang sudahku bikin tadi sore. Jadi tidak perlu waktu lama untuk dia menunggu.
"Sayang, Ayo makan! Makanannya sudah siap di meja."
Baru saja mendatanginya aku menatap Maura tanpa berkedip. Pasalnya dia sebelum kutinggalkan tadi keadaannya masih aman."Sayang, kenapa Maura jadi begini?"
Anak itu masih saja tertawa riang dengan muka sampai rambut dipenuhi putih dengan bedak, bajunya entah kemana, sisa hanya pampers.
"Hahaha ... Ketumpahan bedak sayang!" Dia malah mengatawakan anaknya.
"Ih, terus bajunya kenapa dibuka, ini malam dingin lo sayang!" Aku mengambil alih Maura.
"Bajunya tadi basah kena air."
"Astaghfirullah Arhan! Baru lima belas menit aku tinggal!"
"Maaf, yang. Maura anaknya aktif banget sedikit silap langsung jadi!"
"Ya udah kamu makan aja sana, aku urus Maura dulu!" Nada bicaraku terdengar kurang ramah.
"Jangan marah yang! Kamu marah tambah cantik aku tambah cinta." ucapnya sembari mencium singkat pipiku dan beranjak ke ruang makan. Rasa panas menjalar meninggalkan semburat merah di sana. Katanya terlalu manis. Debaran ini masih tetap muncul meskipun dia sudah mengatakan itu ratusan kali.
Karna waktu cukup padat, aku tidak mampu menjaga Maura dengan full time. Jadi kami memperkejakan seorang baby sitter. Mba Laila orangnya penyayang dan dapat dipercaya.
Namun jika malam, Maura akan lebih sering bersamaku.
"Maura. Sekarang waktunya tidur ya!"
"Baba ... Baba ..." panggilnya mencari Arhan.
"Nak, babanya lagi makan, Maura tidur sama umma, ya."
Dia sedikit merengek, tapi pada akhirnya tertidur juga, setelah lama membujuknya dengan membacakan kisah nabi dan rasul.
Niat baru mau keluar temani Arhan, pintu itu terbuka, sosoknya masuk.
"Maura sudah tidur?" Dia mendekat memandang lekat anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alahna (The End)
SpiritualMenikah satu kata yang belum terlintas untuk sekedar bayangan ada di hidupnya saat ini. Alahna bukanlah gadis yang bebas menentukan pilihan. Sebuah tanggung jawab besar sedang ditangguhkan pada pundaknya. Menguburkan mimpi menghidupkan mimpi orang l...