17. Penjelasan

49 3 0
                                    


Pintu kamar itu terbuka setelah keadaan kembali hening saat semua temannya sudah pulang. Di saat langit sudah berubah hitam legam yang hanya diterangi oleh sabit bulan, dan di hias ribuan bintang kecil.

Aku langsung membaringkan diri lalu memejamkan mata, aku sedang malas untuk sekedar bicara dengannya.

Saat sarapan pagi juga, masih enggan untuk basa-basi. Seperti dia tahu aku mendengar semua pembicaraan mereka. Jelas saja suara bicara itu cukup keras untuk menembus celah kamar.

"Lana."

"Hmm"

"Kamu sedang marah?"

"Marah untuk apa?"

"Soal kemarin, tentang aku mengakui kamu sebagai sepupu. Sorry kalo kamu tersinggung. Tidak mungkin aku beritahu mereka yang sebenarnya. Mereka bukanlah orang bisa jaga rahasia. Aku tidak mau info ini tersebar luas. Bakal banyak timbul asumsi negatif nanti di media."

"Oh, tentang itu. Lupakan saja! Aku tidak peduli tentang itu!" jawabku berbalik dengan yang sebenarnya. Nada bicaraku masih terdengar tidak ramah.

"Lalu kenapa sikapmu berubah?"

"Berubah bagaimana, sikapku masih sama seperti biasa," ujarku datar.

"Beda! sikapmu berbeda!" ucapnya, aku tidak menanggapi.

"Lana! Aku hanya tidak ingin nama kamu terseret dengan berita yang tidak-tidak."

"Aku lagi malas bicara Arhan!"

Setelah itu aku bangkit berdiri meninggalkan dia sendiri di meja makan.

Di kantor aku malah tidak fokus, kenapa aku jadi berlebihan begini. Pekerjaanku sedang banyak-banyaknya. Sebentar lagi juga ada meeting, belum lagi siangnya harus bertemu pak Davin. Untuk kelanjutan pembahasan projek kemarin.

Meetingnya berjalan sangat membosankan. Papa sebagai presenter menjelaskan dengan sangat jelas pada orang di ruangan ini kecuali aku, yang memang lagi tidak fokus. Selesai meeting itu aku langsung kembali ke ruangan.

Perutku tiba-tiba melilit sakit. Ah, sepertinya aku haid. Pantas mood aku sangat buruk hari ini.

Aku meringkuk di sofa. Dukanya perempuan setiap bulan, harus merasakan nyeri perut yang luar biasa. Memang tidak semuanya, tapi aku masuk ke salah satu yang harus merasakan sakit luar di hari pertama.

Sentuhan di bahu dengan lembut, menarikku untuk bangkit, "Kamu kenapa?" tanya orang itu.

"Kenapa pucat banget!" refleknya
menangkup pipiku.

Rasa kaget lebih mendominasi di banding rasa sakit. Pupil mataku membesar, Arhan masih dengan paniknya menyentuh dahiku, agak sedikit panas.

Arhan sedang apa dia di sini.

"Aku tidak apa. Hanya sedikit sakit perut, aku sedang haid."

"Apa perlu aku beli obat hilang nyerinya? Sebentar." Dia mengambil ponsel lalu aku menahannya.

"Tidak perlu, aku sudah minum, nanti sakitnya mendingan sendiri. Aku mau baring di sini sebentar." ujarku memberi jarak dengannya. Aku takut perhatian kecilnya ini, menjadi masalah untukku nanti.

"Kenapa kamu di sini?"

"Aku ada keperluan, sekalian aku mau kasih ini!" Dia mengeluarkan satu buket bunga mawar hidup. Apalagi ini Arhan tolong kamu berhenti bersikap manis. Aku tidak mau terbawa perasaan.

Bunga itu diletakkan di sampingku, harumnya memenuhi rongga penciuman. Harum sekali!

"Ini mungkin bisa membantu!" Setelah memberi buket bunga, dia menyodorkan minyak angin, untuk nyeri perutku.

Alahna (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang