6. Rumah Mama

90 25 0
                                    

Tidak berlama di tempat itu, aku mengajak Dinda ke rumah mama. Kedatanganku yang tiba-tiba membuat mama yang sedang masak menjadi kaget. Aku memeluknya erat dari belakang.

"Mama, aku kangen banget!" Memeluknya sangat erat.

"Loh, kamu kok gak ngabarin, mau datang ke sini?" Mama membalas pelukanku, mata mengerling mencari sosok lain.

"TANTEEE!!!!!!"

Teriak Dinda menggema memenuhi dapur. Dia langsung menyingkirkan aku, memeluk mama.

"Tante, tahu gak, sih. Lana jahat banget! Bisanya, dia nikah. Aku gak di undang!" adunya.

"Pantes kamu gak datang, Tante tidak kabarin lagi. Karna Tante yakin Lana udah pasti ngabarin kamu soal ini."

"Parahnya, dia, tuh. Memang kebangetan, Tante!"

"Kok jadi bicarain aku, sih!"

Dinda malah menjelurkan lidahnya, meledekku. Dasar anak itu. Selalu jadi tukang ngadu. Kalo udah ketemu sama, mama.

"Nah, kebetulan tadi, mama masak sop kepiting. Sekalian, ayo makan! Ini request dari papa, kesukaan kalian juga, kan."

"Tapi, tunggu dulu. Arhan mana?"

Sudah kuduga, mama tadi mencari Arhan. Karna kedatangan Dinda yang heboh, ia tidak langsung bertanya tadi.

"Tadi ... Ada perlu, sama temannya, ma. Jadi aku sama Dinda."

"Iya bener, tan. Tadi kita habis dari cafe yang sama. Arhan lagi sama temannya. Makanya kita cuma berdua ke sini. "

"Wahh, rame ternyata?" Papa berdiri
Di ambang pintu dapur. Menyadari kehadiran kami.

"Pengantin baru, suaminya mana?" Godanya padaku.

"Ih, papa."Aku menghambur memeluknya. Menumpahkan segala rasa rindu, laki-laki hebat satunya yang memberikan aku rasa cinta dan tulus.

"Arhan, mana? Kan, papa. Sudah bilang. Kalo pulang, Arhan harus ikut juga. Biar kita bisa lebih mengenal dan dekat." ucapnya sembari mencubit pelan hidungku.

"Next time, pa! Aku tadi keluar sama Dinda, sekalian mampir ke sini."

"Halo, Om!" sapa Dinda.

"Apa kabar, kamu. Lama tidak main ke sini."

"Kurang baik, Om! Di tinggal nikah sama sahabat, tanpa kabar lagi!" ucapnya tajam melirik ke arahku.

"Perlu, Om. Carikan juga, nih kayanya!"

"Eittss, gak. Perlu repot-repot, Om." Dinda spontan mengangkat kedua tangannya kedepan. Menolak ide papa.

"Kasih aja, pa. Duda tua, anak dua. Kan keren itu buat Dinda." Aku tertawa setelah mengatakan itu. Berhasil membuat ia sangat kesal.

"Aww ..."

Kakiku sakit di injak sengaja oleh Dinda. "Sembarangan, BANGET!!! MENTANG UDAH NIKAH!!"

"Sakit, DINDA!"

"Dasar... Yee. Buruk banget sarannya!"
ucapnya tidak terima.

Orang tua aku sudah biasa menyaksikan perdebatan kecil aku dan Dinda seperti ini. Mereka hanya menggeleng melihat tingkah kami yang masih saja sama seperti dulu.

"Kalian masih saja, seperti bocah" kata papa, di setujui oleh mama.

Itu memang fakta kalo aku lagi sama Dinda. Aku bisa jadi diri sendiri tanpa ada canggungnya sama sekali.

"Ini, gak ada. Niat mau makan? Mau Sopnya dingin lagi, ya?" Mama menatap kami satu persatu. Menyadari sop-nya sudah dari tadi di sajikan dalam mangkok.

"Ngak, dong sayang. Ayo kita makan!"

Alahna (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang