Di depan kolam, gadis itu masih setia memandangi air tenang yang tidak ada menariknya, tatapannya kosong.
Mata dan hidungnya masih memerah akibat menangis terus. Waktu kepulangan ini harusnya dipenuhi kebahagiaan, setelah lama ia tidak pulang.Aku tidak tega melihatnya, Billa.
Gadis itu di bawah tiga tahun dariku. Perlahan aku mendekatinya."Boleh kakak, duduk?" Dia segera menoleh lalu mengangguk, mengizinkan.
"Hidup itu selalu dipenuhi ujian, karena pengakuan kita pada iman. Maka, Allah uji itu dengan yang bahasa paling indah. Didatangkan masalah, untuk kita kembali lebih mendekat padanya," ujarku, padahal aku juga belum mampu, memenuhi perintah-Nya dengan sempurna.
Setetes demi tetes, air mata membanjiri pipi mulusnya. Aku tidak menahannya. Agar ia bisa lebih tenang setelah itu.
"Ternyata benar, ya. Kak! Ketika kita mau mencoba menjadi diri lebih baik, ujian berat itu selalu datang. Namun aku tidak pernah bayangin, kalo ini yang bakal terjadi!" ujarnya disela tangis.
"Allah sayang sama kamu, Billa. Allah kasih ini, karna cuma kamu yang mampu, setiap kita ujiannya beda-beda. Untuk ujian ini kamu yang mampu ngejalanin walaupun berat tapi Allah selalu janji ada kemudahan," ucapku yang tiba-tiba berubah bijak. Bahkan sampai sekarang aku masih merasa berat dengan pernikahan yang berlangsung berapa bulan ini.
"Rasanya sesak banget, aku kecewa banget, kak. Selama ini papa dan mama, tidak pernah ada masalah. Mereka selalu harmonis, bahkan di saat aku dan bang Arhan susah di atur, bikin masalah, saling egois, tidak peduli apapun. Tapi kasih sayang mama-papa yang menyadari kami, untuk meninggalkan hal buruk itu.
Terlebih saat mama memiliki serangan jantung. Papa adalah orang yang pertama memperhatikan kesehatan mama. Tapi kenapa_"Dia memilih tidak melanjutkan lagi, tapi menangis sejadi-jadinya. Aku merangkul lalu memeluknya.
"Kamu yang sabar, ya Billa."
Dia tidak menjawab, hanya menangis tangannya memeluk tubuhku kuat.
"Billa harus bagaimana, kak. Billa sangat benci papa sekarang!"
"Padahal papa adalah sosok pria yang ingin Aku jadikan standar memilih laki-laki di hidup aku, kak!"
"Cinta pertama Billa, hancur, kak!"
"Billa yang tenang, pasti ada jalan keluarnya. Percaya sama Allah, ya!"
Melihat Billa seperti ini, mengingatkanku pada Dinda, yang sama terpukul saat ayahnya, meninggalkan mereka saat ia masih kecil, dan memilih untuk hidup dengan perempuan pelakor yang berhasil meruntuhkan keindahan istana keluarga mereka.
Trauma itu masih tertancap di setiap ingatannya, Dinda jadi orang yang sangat berhati-hati pada laki-laki, sikap juteknya kadang bikin mereka kabur duluan.
Dia tidak segan mempermalukan mereka jika terus nekat mendekatinya. Hal itu bahkan diterapkan padaku. Kewaspadaannya pada laki-laki kadang bikin aku jengah, karna menurutku dia sudah agak berlebihan.
***
Sedari tadi aku gelisah, bingung untuk tidur malam ini. Kamar Arhan kan tidak ada Sofanya. Apa aku tidur di bawah saja, mengingat ini kamar tuan pemilik rumah. Meskipun hubungan aku lebih baik dengan Arhan, di banding dengan yang kemarin sebelumnya.Namun kita masih sangat minim komunikasi. Tentu aku masih segan padanya. Aku menarik selimut lalu melipatnya agak empuk, mengambil satu bantal dan selimut lainnya, untuk menutupi tubuhku dari suhu kamar yang dingin.
Arhan belum lagi masuk, setelah makan malam tadi, dia naik ke atas mengantar makan untuk, mama. Tidak sanggup menunggunya, aku terlelap di bawah sana.
Seperti mimpi, tubuhku meresa ringan sejenak, seperti ada yang mengangkatku, aku membuka mata pelan. Melihat satu wajah di sana. Mataku kembali tertutup rapat. Di alam mimpi Arhan kenapa jadi ganteng, ya. Baju kaos hitam dan rambutnya agak sedikit berantakan ke depan. Bibirku terangkat tersenyum melihat wajah tampan itu.
Sedetik setelah nya aku tidak mengingat lagi, mimpi itu lari entah kemana. Rasanya lebih nyenyak tidurnya.
Satu ... Dua .... Tiga ... Aku bangun tidur, mengerjab beberapa kali. Hah, kenapa aku di atas kasur, aku menoleh ke samping. Arhan masih terlelap dalam tidurnya, dia menghadap penuh ke arahku. Aku seakan tidak percaya ini! Artinya semalam itu bukan mimpi dong!
Dengan pelan aku bangun, semua gerakan dengan hati-hati. Agar ia tidak terbangun, malu banget!
Setelah sempurna kaki ke bawah, baru mau beranjak satu langkah, "Kamu sudah bangun?" Sukses membuat aku berhenti bergerak.
"Ahh, kenapa dia bangun." Padahal aku sudah sangat hati-hati.
Aku berbalik secara perlahan, dengan sedikit kaku.
"Iya."
"Kamu kenapa tidur di bawah semalam?"
"Iya_?"
"Iya kenapa?" tanyanya lagi.
"Ah, aku ga enak tidur tempat tidur kamu. Lagian di kamar kamu tidak ada Sofanya. Jadi, ya begitu," jelasku, dia menghela nafas panjang.
"Tidak perlu seperti itu, tidur saja di sebelahku, kasurnya juga luas. Aku ga bakal ngapain kamu!"
"Hmm, i_iya." Sumpah gugup banget. Seumur hidup aku ga pernah tidur ada cowok di sebelah, selain papa."
Aku langsung berlalu ke kamar mandi, untuk melakukan kebiasaan mandi lalu sholat subuh. Aku menenangkan diri agak lama di kamar mandi. Aku jadi malas keluar. Awkward banget ketemu Arhan.
Tokk ... Tok ....
"Lana?"
"Lana? Kamu sudah selesai."
Ketukan pintu di luar, membuat aku harus segera keluar. Aku langsung menerobos tidak menoleh padanya sama sekali.
"Lana!" Aduh kenapa dia panggil terus sih.
"Tunggu sebentar, kita sholat berjamaah!" ucap berlalu masuk toilet.
Hamparan dua sajadah, sudah ku lentangkan, aku sudah siap dengan mukena.
Pintu kamar mandi terbuka, Arhan melihat ke arahku sebentar, pandangan kami bertemu sesaat, lalu ia kembali berjalan mengambil sarung di lemari.
"Allahuakbar ..."
Sholat pun berjalan dengan khusyuk hingga salam terakhir. Tanganku, ku ulurkan di hadapannya, dia malah menatap lama. Secepat kilat kuturunkan lagi. Ngapain aku salaman segala. Rasanya sangat aneh bersikap seperti ini dengan Arhan.
Cup ...
Sebelum tanganku jatuh, dengan sigap dia menyambar lalu menciumnya.
"Hah ..." Pupil mataku membesar. Seakan aku tidak percaya yang di hadapanku ini adalah Arhan. Sikapnya membuat aku merinding dan malu. Semburat merah kembali memenuhi pipiku.
"Eh, kamu keberatan. Sorry!"
Aku tidak bisa berkata-kata.
Kejadian barusan membuat aku salah tingkah sendiri.
Baik, aku segera menormalkan kembali suasana.
"Iya, tidak apa!"
Karna bingung mau melakukan apa, aku melepas mukena begitu saja. Rambut hitamku terurai tanpa ku sadari. Tadi aku melepas hijab sebelum memakai mukena.
Aku berniat melipat merapikan kembali. Selesai semua beres. Aku mendongak, mendapati Arhan mematung menatap ku tanpa berkedip.
"K_kenapa ...?"
"Ekhemmm, bukan apa-apa." ujarnya langsung berdiri, keluar kamar.
Astaghfirullah ...
Aku tidak pernah melepaskan hijab dihadapan dia sebelumnya. Kenapa debaran jantungku tidak bisa aku kendalikan. Aku memegang kuat. Rasa apa ini!
Aku tidak boleh berharap apapun padanya. Alasan Arhan bertahan karena fokus pada kesembuhan ibunya.
"Alahna, kamu tidak boleh baper!"
ujarku dalam hati mengingatkan.__________
Happy reading ya guys 🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
Alahna (The End)
SpiritualMenikah satu kata yang belum terlintas untuk sekedar bayangan ada di hidupnya saat ini. Alahna bukanlah gadis yang bebas menentukan pilihan. Sebuah tanggung jawab besar sedang ditangguhkan pada pundaknya. Menguburkan mimpi menghidupkan mimpi orang l...