9. Apartemen

83 21 2
                                    


Sepulang dari kantor Dinda memintaku mendatangi apartemennya. Kebetulan searah dengan jalan aku pulang. Dia memilih tinggal di apartemen karena jarak dengan tempat kerjanya lebih dekat. Kalo sudah seperti ini aku yakin dia mau curhat. Dia bukanlah tipikal orang yang mau berbicara panjang di telepon.

Aku tidak masalah sama sekali jika harus menghampirinya sekalipun. Lagipula di rumah aku juga sendiri. Sudah sebulan lebih Arhan tidak pulang tidur di rumah. Kata bibi dia hanya sesekali datang, jika aku tidak ada di rumah. Namun, kurasa dia tidak pulang, karena dia menghindariku. Bukan karena kesibukannya. Tapi mengapa?

Mobilku berhenti di parkiran apartemen. Dinda menyuruh aku langsung naik, jika sudah sampai.
Kakiku memasuki lantai yang Dinda maksud. Dan berhenti di kamar paling ujung kanan.

Ting ...

Dengan cepat dia membuka pintu. Wajahnya jelek sekali. Bibirnya mengerucut dengan tatapan lesunya. Benar tebakanku, dia pasti mau curhat.

"Kenapa kali ini? Kamu dalam masalah atau kamu yang bikin masalah? Pasti ini mengenai permintaan Tante Liza lagi, kan?" ujarku sembari naik di atas tempat tidurnya. Pasalnya dia sudah membahas ini sepuluh kali. Sampai aku sudah menghafalnya. Lebih lagi dia bikin ulah menggagal niat mamanya, yang ingin memperkenalkannya pada salah satu pria yang sangat di kagumi ibunya itu.

"GUE FRUSTASI BANGET. SUMPAH! GUE UDAH NOLAK KETEMU SEPULUH KALI. NYOKAP GUE GA NGERTI SAMA SEKALI. MASIH AJA SEMANGAT MEMPERTEMUKAN GUE DENGAN COWOK ITU. DAN SEKARANG PAKE ANCAMAN! GUE_"

"Santai ... Santai, ga usah ngegas. Aku di sini. Tidak perlu teriak-teriak." Aku menarik Dinda ikut duduk. Untuk dia lebih tenang.

"Lana, lo harus bantu gue, dong!"

"Ya, kamu ceritain dulu masalah kali ini gimana!"

"Lo, tahu. Mama, gue sudah overdosis kagum sama itu cowok. Dan terobsesi buat ngejadiinnya menantu, dan gue satunya cewek di rumah. Lo bayangin aja sekarang kalo gue bikin ulah lagi, semua barang branded gue mau di sita. Demi apa coba!"

Aku malah tertawa mendengar ceritanya itu. Watak Dinda dengan mamanya sama-sama keras. Tidak ada yang mau mengalah. Bayangkan saja dia mau di perkenalkan tapi sembilan kali lolos kabur, dengan seribu macam alasannya. Yang terakhir dia sengaja mau bertemu tapi dengan dandanan aneh, sangat menor! Untungnya saat itu cowok yang di tunggu belum datang. Mamanya yang menyadari bahwa itu dia langsung menyeretnya pulang.

"Aku lagi, ga ngelawak, Na!"ucapnya kesal. Menyilangkan tangan di dada.

"Iya, aku tahu. Habisnya kamu kenapa ga mau jumpa aja? Siapa tahu  nanti demen, kan?" Saran aku, ekspresinya titiba datar.

"ITU BUKAN SOLUSI!" teriaknya kesal.

"Eh, dengar, Din. Kamu cukup bertemu sebentar saja. Tidak perlu kenal lebih jauh. Lagian belum tentu juga cowok itu bakal suka sama kamu!"

"Nah, itu masalah nya, pertama gue yakin mama ga akan cukup sampai kita bertemu saja. Ke dua aku kan cantik, kalo dia suka jadi ribet urusannya!" ucapnya narsis, membuatku menghela nafas jengah.

"Cowok itu tipikal seperti apa?" tanyaku mulai serius.

"Mana, gue tahu, Lana. Ketemu aja belum pernah!"

"Barangkali mama kamu pernah cerita, satu hal tentang dia kamu pasti tahu dong?"

Dinda berpikir keras mata menerawang ke atas. Jari telunjuknya menyentuh kepala. "Ah, gue tahu!" ucapnya sumringah.

"Dia suka wanita yang modis, mandiri, pintar dan fashionable!"

"Hmm, aku punya ide!"

"Apa!"

"Kamu harus pake baju yang syar'i banget. Mama kamu pasti ga bakal marah!"

"Wah! Setuju! Nanti aku akan atur waktu ketemuannya." Wajah seketika kembali ceria.

Setelah curhat, nonton, dan makan. Aku memutuskan untuk pulang mengingat sudah jam delapan malam.  Dinda tidak lagi mengantar aku ke bawah. Kami berpisah di depan pintu kamarnya. Aku menapaki lantai pertama untuk segera keluar dari sana. Kakiku berhenti melangkah saat mataku menangkap sosok yang sudah lama tidak ku lihat.

Arhan ada di sana, dia menelusuri jalan lobi, aku membatalkan niat ku tadi, dan memilih mengikuti Arhan. Aku penasaran sedang apa dia di sini. Dia berhenti pada salah satu kamar, dan mulai mengisi password di pintu masuk. Jadi selama ini dia tidak pulang tidur di sini! Buat apa?

Aneh, aku tidak habis pikir padanya, jarak apartemen dengan rumah hanya lima belas menit. Rasanya ingin aku tanya sekarang apa alasannya. Tapi perjanjian tidak mengusik satu sama lain, membuat aku harus mundur.

"Ya ampun!" Aku tersadar satu hal.

Arhan tidak boleh tinggal di sini. Bagaimana jika Dinda bertemu dengannya. Bisa kacau. Masih untung selama ini mereka tidak bertemu. Walaupun beda lantai. Tidak memungkinkan mereka tidak akan berjumpa.

Aku memberanikan diri mendekat ke sana. Tanganku memecat bel, dan menunggu sedikit cemas. Aku menekannya sekali lagi, aku menunduk ke bawah. Tidak lama pintu itu terbuka. Aku mendongak melihatnya berdiri di depan pintu.

Arhan menatapku kaget.

"Lana? Kenapa kamu di sini?"

"Aku perlu bicara!"

"Kamu bisa menelponku tidak perlu mengikuti aku sampai ke sini!" Nadanya jelas tidak suka aku ada di sana.

"Kamu terlalu kegeeran. Siapa yang mengikutimu. Aku_" ucapanku terhenti, saat Dinda melambai ke arah kami dari ujung sana. Aku terdiam tidak bisa berkata lagi. Kenapa dia titiba ada di bawah. Padahal tadi dia kekeuh tidak mau turun.

"Arhan juga ada di sini?" tanyanya. Arhan malah menatapnya heran.

"Lo Dinda yang kemarin ..."

"Iya, benar sekali, kenapa lo ragu gitu? Lo melupakan wajah cantik gue ini?"

Aku menutup mata, dan memikirkan alasan, dengan pertanyaan yang bentar lagi akan berlanjut.

"Lana, bukannya tadi lo mau pulang. Kenapa ... Oh, gue paham. Kalian ingin tidur di sini?" Dia melirik pintu kamar yang masih terbuka.

Hening

Aku dan Arhan sama-sama diam. Lidah kami beku, untuk menjawab pertanyaan sederhana Dinda.

"Iya." Satu kata lolos dari bibir Arhan.
Aku melotot padanya.

"Baiklah. Aku tidak ingin mengganggu waktu pengantin," ucapnya enteng.

Dia mendekat ke arahku, dan berbisik pelan, "Aku pengen ponakan cewek!" Seketika wajah aku merah padam. Aku menunduk dalam. Malu sekali Arhan melihatnya.

"Kenapa kalian tidak masuk. Masuklah, aku mau ke sana sebentar." Tunjuknya pada satu ruangan depan, dia terus tersenyum sumringah.

Aku dan Arhan masuk perlahan dengan bibir yang masih tertutup rapat.

Pintu itu tertutup sebelum bayangan Dinda hilang dari sana.

Suasana ini sangat canggung, mengingat kami sudah lama tidak bertemu. Jika keluar sekarang nanti bertemu Dinda lagi. Aku memilih menunggu di sofa beberapa saat ke depan.

Arhan masih bingung dengan semua ini. Dia mendekat, "Bagaimana bisa kalian ada di sini?" tanya penasaran.

"Nah, itu yang ingin aku bicarakan."
Aku mencoba lebih tenang, dan mulai menetralkan kembali suasana.

____________

Yuhuu gesss Alahna Apdate
Jangan lupa vote komennya
Jangan juga lupa baca Al-Qur'an 🫶

Alahna (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang