11. Rumah Sakit

81 18 0
                                    

Suara alat monitor ECG, alat yang digunakan memantau kondisi jantung memenuhi ruangan ini. Seorang terbaring dengan lemah. Semua alat bantu terpasang di tubuhnya. Aku menahan tangis. Walaupun aku jarang bertemu. Tapi rasanya bisa se-sedih ini. Mama Zahra orang yang baik. Setiap bertemu dia selalu memperlakukanku dengan baik. Benar-benar disayang.

Beberapa waktu dia sering datang ke rumah. Bukan untuk menemui Arhan. Tapi khusus memberikan kue buatannya padaku. Dia merepotkan dirinya sendiri untuk mengantar.

Setiap kali ke rumah, walaupun hanya sebentar, dia sering menceritakan tentang Arhan meskipun jauh dari kenyataan yang aku lihat.

"Assalamualaikum ma," bisikku di telinganya.

Aku tahu, dia mendengar. Karena orang dalam kondisi koma bisa mendengar, walaupun hanya 20 persen dari kesadarannya, namun mereka tidak bisa merespon karena kinerja otak tidak berfungsi akibat pendarahan di jaringan otak yang membuat oksigen terhambat.

"Maafin, Lana. Baru bisa jenguk, mama. Aku tahu, mama adalah orang yang kuat. Mama pasti bisa ngalahin sakit, mama. As'alullahal azhima rabbal 'arsyil 'azhimi an yassfiyaka." Aku bicara dengan suara sedikit bergetar. Dan mengucapkan kalimat terakhir merupakan doa pada Allah yang maha Agung, untuk menyembuhkan mama.

Arhan di sampingku maju, menggenggam lembut tangan itu, dan mengecupnya lama.

Ternyata benar, seorang yang kelihatannya adalah orang yang tangguh, keras, dan dingin. Bakal rapuh, lemah saat berhadapan, pada kondisi orang yang di sayang dan di cintainya sakit atau terluka, bisa membuat perasaannya hancur. Arhan tak kuasa menahan tangisnya, lagi dan lagi air hujan di matanya turun. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tapi bukan seperti sosoknya. Yang biasanya cool, irit bicara, dan tidak peduli.

"Sabar, ya. Mama pasti sembuh!" ujarku. Dia mengangguk pelan. Tangannya tidak mau lepas, dari tangan mulia itu. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, tidak mungkin mama langsung sakit tiba-tiba tanpa pemicunya.

Pintu terbuka, seorang pria berdiri dengan raut wajah sedih. Aku memahami papa pasti ikut terpukul, dengan keadaan mama sekarang.

Tapi ... Reaksi Arhan di luar dugaan aku. Dia tampak marah, dan menarik tangan itu untuk keluar. Hal itu menimbulkan tanda tanya yang  besar bagiku. Aku hanya bisa diam di tempat itu.

Aku memutuskan membaca Al-Qur'an, menemani mama. Beberapa saat berlalu, Arhan tak kunjung kembali. Justru yang datang mama dan papaku sendiri. Aku melihat mereka di luar kaca kamar.

Aku keluar, agar mama dan papa bisa masuk. Karna maksimal dua orang yang diperbolehkan berkunjung ke dalam.

Dari jauh koridor, aku mendengar meski samar suara orang bertengkar. Aku menyelusuri suara itu.

"LEBIH BAIK, ANDA PULANG! JANGAN PERNAH LAGI KE SINI!" Itu suara Arhan.

"Maafkan, papa. Arhan!" ucap papa dengan nada yang sangat menyesal. Apa yang terjadi?

Arhan langsung meninggal pria itu.
Aku yang baru berdiri di sana. Langsung di seret untuk ikut dengannya. Aku hanya mengikuti langkahnya, dengan susah aku mengimbangi. Arhan jalannya cukup cepat.

Taman menjadi tempat pria itu membuang kesalnya. Dia berteriak memukul pohon yang tidak bersalah. Untung tempat ini lagi sepi. Kalo tidak mungkin Arhan akan dibawa ke bagian jiwa.

Apa aku diseret, untuk melihat hal seperti ini?

"Arhan cukup!" Memegang tangannya kuat. Untuk menghentikan tingkah bodohnya itu.

"Lihat aku. Tenang!"

"Kamu boleh marah, tapi tidak menyakiti diri sendiri!"

Aku memaksanya duduk disalah satu kursi taman. Amarah akan mereda saat kita duduk, jika tidak, maka baringlah, jika memang masih susah di kendalikan. Sebaiknya kita padamkan Dangan air wudhu.

Tidak mungkin aku baringkan dia di situ. Mushola juga jauh dari sini. Setelah duduk dia lebih bisa mengontrol emosinya, "Aku membencinya!" Aku hanya diam.

"Sangat membencinya!" tambahnya lagi. Aku tetap diam.

Dia melihat ke arahku.

"Maaf, kamu harus lihat, apa yang seharusnya kamu tidak tahu!"

"Kata siapa tidak berhak tahu? Justru aku harus mengerti keadaan orang disekitar aku. Apalagi ini tentang keluarga kamu. Meskipun hubungan kita seperti ini," balasku.

"Kamu bisa cerita, kalo kamu mau. Kebetulan aku pendengar yang baik."

"Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru terjadi." Dia mulai bicara, matanya menatap lurus ke depan.  Aku hanya menyimak setiap katanya.

"Mama, memang sudah lama punya riwayat jantung, dan berapa akhir ini dokter bilang kondisinya semakin memburuk. Akibat stres yang berlebih. Aku terus mencoba buat mama senang. Dengan menjauhi segala yang membebaninya. Termasuk mau menikah denganmu!"

"Tapi ternyata sumbernya bukan di aku. Tapi, papa! Puncaknya semalam. Saat mama menemukan bukti kalo ternyata, papa ... Papa punya perempuan lain!" jelasnya dan sedikit jeda di kalimat terakhir. Jujur aku kaget dengan informasi ini. Sepengetahuan aku papa orang yang baik dan setia, kehidupan memang tidak bisa di tebak. Aku mencoba tetap tenang, mendengar kelanjutannya.

"Mereka bertengkar hebat. Belasan panggilan tak terjawab, membuat aku langsung menuju ke rumah. Saat aku tiba di sana. Mama sudah tidak sadarkan diri. Aku terlambat, Lana!" ujarnya menahan sesak.

"Kamu belum terlambat!" Dia menoleh ke arahku.
"Justru kamu datang di waktu yang tepat. Jangan menyalahkan diri kamu lagi. Sekarang fokus dulu untuk kesembuhan, mama. Dan perbanyak berdoa." Aku tersenyum setelah mengatakan itu. Senyuman bisa membangun energi positif. Kurasa Arhan membutuhkannya.

"Makasih, Lana!" Aku mengangguk. Setelah itu kami kembali ke ruangan mama. Papa mertua sepertinya sudah pergi. Seperti yang Arhan minta. Aku turut sedih dengan keadaan ini.

Mama dan papaku sudah menunggu kami di depan ruangan, "Kalian habis dari mana?" Papa bertanya saat kami baru tiba di sana.

"Dari taman, pa. Arhan lagi butuh waktu, untuk tenangin dirinya."

"Makasih, mama dan papa. Udah datang." ucap Arhan.

"Sabar, pasti mama kamu bisa sembuh. Jangan pernah putus asa!" ucap papa, sembari menepuk pundaknya.

Mama memeluknya singkat, menyemangati. Sebelum mereka pamit untuk pulang.

Setelah, itu Arhan kembali masuk. Dia menemani mama di dalam. Jam kunjungnya masih ada. Aku menunggunya di luar. Beberapa saudara juga turut hadir menjenguk, mereka sama seperti aku. Masih tidak percaya dengan alasan yang terjadi.

Bagaimana bisa, papa melakukan itu semua, padahal sudah memiliki kehidupan yang sempurna.

Merasa lapar aku bergerak mencari makan di kantin rumah sakit.

Soto panas dengan es teh terhidang di atas meja. Aku sudah sangat lapar. Tadi pagi juga belum sempat sarapan.

Seorang tiba-tiba duduk di hadapanku.

"Papa!" Aku kira setelah Arhan menyuruhnya pergi, ia benar pergi. Ternyata tidak.

"Kamu pasti sudah tahu yang terjadi, maaf, membuat kamu tidak nyaman, dengan kabar ini!" Aku tidak tahu harus menjawab apa.

"Tolong sampaikan maaf, papa. Pada Arhan. Papa memang salah!"

"Iya."

Hanya itu yang bisa aku ucapkan. karna aku juga kecewa dengan apa yang papa lakukan.

Dia langsung pergi, setelah mengatakan itu.

_______________

Happy reading 🤍

Alahna (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang