18. Gagal

50 5 0
                                    


Kesibukanku bertambah berkali lipat saat aku harus membuat berapa desain baru yang di minta di acara nanti, gambaran konsep sudah dirancang aku tinggal mendesainnya.

Kerjaan ini cukup menyenangkan, belum lagi saat berapa ide dan masukanku diterima.

Aku hanya bisa istirahat sebentar saja. Walaupun Arhan terus menyuruhku tidur. Seperti sekarang, aku butuh suasana yang tenang. Memfokuskan pikiranku pada pola yang akan aku bentuk.

"Tapi ini kesempatannya yang gak ada dua kali!" ucapku saat ia terus menyuruhku tidur.

"Kamu bisa gagal fokus pada perkerjaanmu nanti, kalo tidak istirahat yang cukup."

"Sedikit lagi," kataku masih fokus pads layar di tangan.

Tanpa aku sadari sudah pukul dua dini hari. Semua desain sudah selesai tinggal dikirimkan. Arhan sudah tidur sedari tadi.

Paginya aku benar mengantuk. Kupaksakan untuk terlihat segar. Walaupun gagal pada akhirnya.

"Sudah kukasih tahu kan!" ucapnya setelah memperhatikanku lama.

"Sudah selesai semuanya. Aku bisa fokus pada kerjaan kantor sekarang." ujarku lalu menguap mengantuk.

"Tck ... Kamu ngeyel kalo dikasih tahu!"

"Bi Asih!" Arhan memanggil bibi di dapur.

"Tolong buat kopi panas satu!"
mintanya pada bibi, langsung mengerjakan perintah Arhan.

Gempulan asap di depanku, Arhan meletakkannya secangkir kopi yang sudah di siapkan bibi.

"Jangan lupa diminum, kamu bisa gagal fokus kerja nanti."

"Aku berangkat duluan, ada yang perlu aku siapkan untuk meeting hari ini."

"Oke, thanks"

Setelah menghabiskan kopi itu aku sanggup membuka mata lebih baik, untuk berangkat ke kantor.

Berapa tumpukan berkas di meja, membuat aku menghela nafas panjang.

Membaca bisa bikin tambah mengantuk, tidak ada pilihan lain selain aku harus membaca dan mendatangi berkas itu semua.

Secangkir kopi tadi ternyata belum mampu mengembalikan fokusku. Baru setengah yang ku baca rasa ngantuk itu kembali menyerang. 

"Ah, baiknya aku tidur sebentar saja." Gumamku.

Tidur dia antar tumbukan berkas itu.
Dan tersadar setelah tanganku cukup pegal dengan posisi seperti itu lebih dari satu jam.

"Astaghfirullah!" Aku terperanjat melihat jam hampir jam sepuluh. Aku langsung membaca sekilas dan mendatangani berkas itu sebelum mengikuti rapat.

Beberapa hari setelah itu, aku dapat kabar buruk perusahaan mengalami kerugian dua puluh persen akibat proposal dengan permintaan harga yang tidak sesuai dan telah disetujui dengan tertanda tanda tanganku di sana.

Segala pikiran negatif menyerangku. Aku membaca ulang proposal itu, jelas di sana ada angka tidak sesuai, aku mencoba mengingat, ah itu salah satu berkas yang aku tandatangani buru-buru, karna harus meeting. Selama berkerja aku kembali melakukan kecerobohan.

Ponselku berbunyi, panggilan dari papa. Aku sudah siap konsekuensi yang terjadi.

"LANA APA YANG KAMU LAKUKAN, PAPA SUDAH PERINGATKAN KAMU UNTUK TIDAK CEROBOH KALO SEDANG BEKERJA. SUDAH PAPA BILANG FOKUS PADA PERUSAHAAN BUKAN URUSAN LAIN. PERUSAHAAN KITA HARUS MENGALAMI KERUGIAN YANG BESAR AKIBAT ULAH KAMU!"
Papa marah besar. Aku merutuki kebodohanku.

Harusnnya kemarin aku mendengarkan apa kata Arhan.

"Maaf, pa. Aku memang salah," ujarku  dengan air mata yang mulai jatuh.

"KAMU HARUS BISA LEBIH TELITI LANA!" ucapnya langsung mematikan panggilan.

Sesuai janjiku pada papa, aku harus berhenti dari segala yang bukan tugas pekerjaan kantor.

Padahal nanti malam adalah acara yang sudah aku nanti. Semua karya desain aku diterima akan di tampilkan. Namun sayangnya aku sudah tidak minat ke sana. Aku juga tidak mau tahu juara desain terbaik dimenangkan oleh pihak mana.

Setelah lembur mengerjakan semua kekacauan yang aku buat, aku pulang dengan keadaan cukup letih, seharian full di depan laptop. Mobilku hanya melewati acara sedang berlangsung di Jakarta Convention Canter.

Memandangi gedungnya saja sudah bikin nyesek. Semua mimpi itu harus aku kuburkan ke tempat yang tidak bisa aku datangi lagi.

Kakiku memasuki rumah dengan lemas tidak ada semangat sama sekali. Aku mendudukkan tubuh di sofa depan. Perlahan butiran bening keluar dan isakan mulai terdengar.

"Aku cape!" ucapku disela tangis.

Aku membenamkan wajahku di lutut. Menumpahkan kesedihan yang sedari tadiku tahan.

"Ada masalah apa ?" Arhan berdiri di hadapanku. Perlahan ia mensejajarkan tubuhnya. Tanpa sadar aku langsung memeluknya.

Aku tahu dia kaget dengan sikapku yang begitu, namun aku butuh dekapan dengan semua masalah yang sedang aku hadapi.

"Aku lagi cape! Aku tahu aku yang salah!" Dia menepuk pelan punggungku.

"Kamu salah kenapa?" tanyanya.

"Kamu benar, harusnya aku bisa fokus dengan mengatur waktu tidurku. Tapi aku malah mengabaikan. Sampai perusahaan harus menanggung kerugian akibat kecerobohanku."

Aku melepas pelukan itu dan menatapnya, "Aku setidak berguna itu ya? Aku sering melakukan kesalahan, aku ga pernah bisa wujudkan apa yang aku mau. Aku cape sama hidup aku sendiri!" ujarku menangis di hadapannya. Aku butuh mengeluarkan semua yang aku pendam. Aku tidak peduli sekali pun itu Arhan.

"Kamu berharga, Lana. Titik terendah kita bukan saat kita gagal, tapi di saat kita memilih berhenti. Kesalahan itu bukan untuk kita ratapi namun untuk kita pelajari," katanya bikin aku tersentuh.

"Event fashion show week nya malam ini. Aku memutuskan tidak akan masuk dunia fashion lagi," ujarku setelah lebih tenang.

"Kenapa?"

"Itu janji aku sama papa, aku membuat kesalahan di perusahaan. Karna fokus aku yang terbagi, dan aku tidak bisa mengimbangi."

"Kamu berbakat, sayang jika di sia-siakan."

"Sudah, aku ingin melupakan semua itu!" ucapku dengan berat.

Bunyi suara perutku cukup nyaring, "Kamu belum makan?" spontan Arhan bertanya.

Aku menggeleng, sejak tadi siang tidak ada asupan apapun di perutku.

Arhan menghangat semua makanan dan menyajikan untukku. Aku suka bertanya kenapa ia sering melakukan tindakan yang manis beberapa waktu belakangan ini. Jujur aku tidak bisa mengelak ada muncul debaran aneh jika ia terus bersikap seperti ini. Perubahan sikap cukup drastis dibandingkan saat awal kita bertemu.

"Kamu sendiri sudah makan?" tanyaku saat sepiring makanan di letakkan di depanku.

"Sudah, makanlah!"

"Iya."

Dia tidak pindah dan terus menemani aku makan, semenjak kejadian mama sakit, hubunganku denganya berjalan cukup baik. Mungkin dia sudah menganggapku sebagai teman. Ya, tidak lebih dari itu. Dan semua sikapnya ini jangan berekspektasi lebih tinggi. Nanti aku akan sakit lebih dari saat pertama aku terima dia dihidupku.

"Apapun keputusan kamu pilih, kamu harus siap dengan konsekuensinya. Aku mendukung selagi itu baik."

"Iya, terimakasih untuk semua kebaikan kamu."

"Hidup terkadang memang harus belajar ikhlas." ujarku menguatkan diri. Dia tersenyum dan mengangguk kepala.

Dari arah dapur bibi tersenyum, pancaran wajahnya bahagia sekali. Mungkin ia mengira pernikahan ini akan selamanya. Namun aku tidak yakin karena kepastiannya masih abu-abu

__________

Happy reading 🕊️

Alahna (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang