3. Kesepakatan

126 32 2
                                    

Tinnnn.....!!!!

Tinnnn!!!!!

Aku kaget terbangun, suara klakson mobil menggema di telingaku. Merasakan mobil sudah berhenti, aku memandang keluar, mataku disajikan halaman rumah bergaya klasik Eropa. Dengan cat putih full bangunannya, terlihat mewah dan elegan. Ditambah ada taman hijau didepan, aku menoleh kesal. Melihat tatapan datarnya.

"Turun! Sudah sampai!" perintahnya berlalu keluar mobil. Tidak ada sopannya.

Aku keluar, kali ini aku harus mendorong dua koperku, pria itu hanya mengambil koper kecilnya. Langsung masuk ke dalam rumah tanpa basa-basi mempersilahkan aku masuk. Mentang rumahnya. Menyebalkan!

Dia diam di ruang depan menungguku masuk, "Kamarmu di atas, sebelah kanan paling ujung!" tunjuknya ke arah tangga dan menyerah satu kunci kamar. Aku menatapnya, meraih kunci itu.

"Kamarku di bawah! Jangan berisik, aku paling tidak suka jika tidurku terganggu!" Intrupsinya dengan melayangkan tatapan seperti biasanya.

"Oke." Aku melangkah menuju ke atas. Namun terhenti, karena dia kembali bicara.

"Setelah makan malam nanti, ada hal yang ingin kubicarakan," katanya, membalikkan badan yang hendak masuk kamar. Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Aku menatap diri di depan cermin sembari mengeringkan rambut. Aku bertekad tidak akan mau melepas hijab, kecuali di kamar sendiri. Saat di rumah tadi, orang tuaku sempat protes, mereka heran mengapa aku keluar menggunakan hijab instan, tidak biasanya. Aku hanya beralasan, sedang mencoba hijab instan baru, salah satu hadiah pernikahan entah dari siapa. Rasanya tidak nyaman membuka hijab dihadapan orang asing, walaupun kita sudah mahram.

Aku melihat sekeliling kamar ini, benuansa putih, seperti warna kesukaannya putih, sangat bertolak belakang dengan sikapnya. Kamar ini memiliki jendela cukup lebar, jadi bebas melihat pemandangan kota. Rumah ini sangat besar, lebih dari tempat tinggal aku sebelumnya. Bahkan aku tidak tahu dia kerja apa, aku sama sekali tidak tahu tentangnya. Aku tahu yang kulakukan sekarang adalah salah. Bagaimana pun pisah kamar suami istri itu mendatangkan murkanya Allah. Aku tidak punya pilihan, ini sama-sama keinginan kami berdua. Lagi pula tidak mungkin juga aku memaksa dia, ini bukanlah tempatku.

Malam yang redup, untuk pertama kali aku merasakan kesepian, kakiku melangkah ke dapur. Di sana ada seorang perempuan yang sudah berumur kepala empat, sedang menyiapkan makan malam. Makanannya sudah disajikan dalam piring, aku tersenyum lembut padanya. Ia membalas dengan hangat. Tanganku bergerak mengangkat makanan itu ke meja makan, dia langsung mencegahku tidak mengizinkan.

"Tidak apa, bi. Aku sudah biasa bantu, mama. Untuk menyiapkan makan malam," ucapku jujur. Langsung menatanya di meja makan.

Ada gurat ketakutan di wajahnya, seperti merasa tidak enak, aku tertawa pelan.

"Biasa aja, bi. Tidak perlu tegang begitu, anggap saja aku teman!" kataku ramah.

"Ohh iya bi, aku Alahna, bibi panggil saja, Lana." Aku memperkenalkan diri menyodorkan tangan, bibi sedikit ragu menyentuh tanganku. Aku langsung menjabat tangannya dengan baik. Ia tersenyum senang.

Tinggal satu piring aku membawanya ke meja makan. Ternyata Arhan sudah duduk dengan santai, sembari memainkan ponselnya.

Dia melirikku, ekspresinya sedikit bingung, "Kamu, masak ini?" tanyanya ragu.

"Tidak, aku hanya membantu menatanya"

" Sudahku duga, tidak perlu masak di rumah ini, sudah ada bibi yang mengerti tentang makanan kesukaanku."

"Dengan senang hati," ucapku tersenyum lebar, lagi dia mendengus tidak suka.

"Senyumku ini sangat manis, gula aja kalah. Kenapa kamu selalu tidak suka!" kataku sedikit percaya diri. kesal dengan ekspresinya, dan mendekat menyipitkan mata padanya.

Alahna (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang