Kesekian Kalinya

122K 3K 132
                                    

Suara jam berdetak memenuhi kamar kecil yang sedikit temaram. Masih diangka 4 dini hari lewat 37 menit, gelap juga masih menyelimuti keadaan luar. Sepi, hening, dan dingin.

Sebenarnya lebih enak untuk tidur, bergelung didalam selimutnya yang tebal lalu mengarungi mimpi.

Tapi nampaknya itu hanya angan-angan belaka, karena kenyataannya Febri sama sekali tidak bisa terlelap sehabis bangun sedari jam 1 malam tadi.

Panggilan alam, setelah menuntaskannya dia malah duduk melamun karena tak sengaja menatap meja belajar.

"Tas gue.." Lirihnya pelan, mendesah begitu berat.

"Gue cuma punya tiga. Kalau yang ini jadi korban lagi.." Febri memasang wajah sedih yang berlebihan, lalu menatap satu tas punggung berwarna hitam dibelakang yang menggantung di kursi belajar.

Dia sudah mengemasi buku pelajaran yang akan dibawanya nanti. Itupun dengan lirihan kekesalan karena dua tasnya berada di tangan Jayendra.

Tadi kebetulan dia melihat tas yang pertama didalam mobil lelaki itu, teronggok di jok belakang.

Sekarang dia bingung bagaimana caranya membawa kedua tasnya, karena buku-buku pelajaran didalamnya ada tugas yang harus dikumpulkan.

"Gue harus puter otak lagi." Keluhnya sebal. "Ponsel juga belum balik, duh kalau ada tugas yang ketinggalan repot banget nanti."

Mata Febri mengedar menatap isi ruangan kamarnya yang tidak seberapa luas. Tidak ada yang menarik dari kamarnya. Hanya rak dinding bersusun tiga yang dipenuhi buku-buku komik ketinggalan zaman.

Wajar saja, Febri memang membelinya dari tukang loak.

"Gak sia-sia gue baca komik detektif Conan. Akal gue mulus terus." Katanya sambil terkikik geli.

"Moga di sekolah mereka gak bakal deketin gue."

Itu doanya sebelum kembali tidur, Febri memaksa untuk memejamkan mata agar di sekolah nanti tidak begitu mengantuk.

Sayangnya, Tuhan mungkin sedang menguji dirinya atau bisa jadi kesialan akan terus menimpanya.

Sejak bangun Febri sudah kesiangan, jam weker memang berbunyi hanya saja Febri tetap setia tertidur dan bangun saat sang ibu sudah siap akan pergi bekerja.

Dia langsung ribut mandi, memakai pakaian, melewatkan sarapan, dan lebih sialnya melewatkan uang jajan yang selalu disimpan kedua orang tuanya diatas kulkas.

Dia baru sadar ketika sudah didalam bis. Saat rasanya ingin sekali menangis, untungnya didalam kotak pensil lamanya ada uang 20 ribu yang hanya cukup untuk pulang pergi saja.

Febri sudah tidak peduli lagi dengan bagaimana nanti dia akan jajan atau makan siang. Dia bisa memikirkannya nanti.

Sampai di sekolah Febri bergegas menuju kelasnya, bel akan berbunyi dalam lima menit lagi.

Koridor sudah penuh oleh murid-murid, dari kelas satu sampai tiga semua berbaur menuju kelas masing-masing.

"..iya kan? Aneh banget.. Katanya mereka lagi ngincer seseorang."

Langkah Febri terhenti begitu saja sewaktu mendengar selintingan orang-orang yang menggosipkan sesuatu.

Dahinya berkerut heran, dia menoleh ke kiri dan ke kanan dimana rata-rata semua siswi seperti bergosip akan sesuatu.

"..nih liat, Kak Liam serem banget mukanya. Kayaknya dia punya dendam sama seseorang."

Febri melihat seorang siswi yang barusan lewat sedang menunjukkan layar ponsel pada dua temannya. Mendengar nama Liam telinganya langsung bergerak, ingatan Febri melayang pada kejadian kemarin.

Pemuas MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang