Kencan Yang Belum Usai

54.8K 2.8K 1.1K
                                    

"Ayah buat kesalahan?"

Febri menahan tawanya, lalu menggeleng sembari menggedikkan bahu saat Bimo menatap dirinya untuk mencari jawaban.

Sedangkan yang ditanya tengah melayangkan pandangan tajam. Ekspresinya kaku sekali, wajah itu kembali pada stelan pabrik. Datar, namun kini menguarkan amarah.

Bimo berdecak kesal saat melihatnya, "apa? Ayah kan gak tau kalo kamu lagi sama Febri."

Liam tidak menjawab, dia hanya mengalihkan pandangan kearah lain. Juga enggan membalas bahkan hanya untuk sekedar membuka mulut rasanya tidak sudi. Sang ayah benar-benar mengacaukan segalanya.

Karena Liam yakin jika nanti Febri sudah tidak mau melakukan hal tadi. Gadis itu bukan hanya berani memerintah, tapi juga membantah apa yang ia inginkan.

Sial, padahal dia sudah susah payah bersabar.

Sedangkan dari sisi Bimo, tengah memandang malas sang putra. Matanya mengedar menatap isi apartemen. Dia bisa melihat beberapa bungkus ciki yang berserakan, meja yang diubah letaknya, banyak makanan diatas benda itu. Lalu yang paling mencolok ada lumba-lumba besar yang kini dimainkan oleh kaki Febri.

Alis Bimo terangkat saat menyadari jika keduanya memakai baju yang sama persis. Febri terlihat lucu namun Liam malah aneh. Bimo mendengus geli karenanya.

"Jadi, kencan di malam jumat?" Tanyanya sembari bersidekap dada, Bimo menyandarkan punggungnya berusaha santai.

"Eumm iya sih, Om. Harusnya begitu, tapi kayaknya udah selesai." Jawab Febri, dia melirik Liam yang duduk didekat meja. Lelaki itu sedang menatap dinding seolah mengajak berperang, lalu terkekeh geli. "Tanggung jawab, Om. Padahal Kak Liam tadi lagi serius-seriusnya."

"Emang bahas apa?"

Febri menggedikkan bahunya sekali lagi, "Om kalo penasaran tanya orang yang bersangkutan. Aku soalnya udah lepas gak nyangkut lagi, jadi gak mau jawab."

Bimo menggeleng pelan mendengar jawaban Febri, "kalo gitu Ayah gak mau ganggu lebih lama lagi. Ayah cuma mau bilang ibumu besok pulang."

Liam mendelik tak santai, keningnya berkerut dengan pandangan seolah sangat kesal dengan apa yang sang ayah bilang.

"Ayah udah telepon kamu ratusan kali dari sore. Salahmu juga yang gak angkat-angkat. Makanya Ayah susul kesini." Bimo mengangkat bahunya sekali dengan acuh.

"Dia mau kamu jemput besok siang di bandara." Lanjutnya.

Liam menghela kasar, berdecak dengan nada keras lalu berdiri, berjalan ke dapur untuk mengambil minuman dingin didalam kulkas.

Bimo hanya terkekeh pelan, kini mataya beralih pada Febri yang sedang membungkuk untuk memainkan sirip si lumba-lumba.

"Liam kamu apain?"

Febri mendongak, kening berkerut heran lalu duduk dengan benar. Menatap curiga Bimo yang sedang menaikkan sebelah alisnya.

Kenapa menyebalkan sekali ia lihat?

"Aku porotin, Om. Liat, aku dapet boneka segede babon." Febri menepuk si lumba-lumba beberapa kali.

"Bukan itu," Bimo menggeleng, "lehernya luka, merah-merah. Kamu apain?"

Febri mencebik sebal, "Om, Kak Liam bukan gadis perawan. Kok nanyanya seolah-olah aku tukang anuin orang, sih?!"

Bimo tertawa renyah, dagunya menggedik menunjuk kearah dapur.

"Liam mana mau punya luka. Kalau kamu denger dia sama tiga yang lain terlibat tawuran itu pembual besar. Liam anti yang namanya mempunyai luka sampai berdarah. Kamu juga pasti sadar kalau dia orangnya penyabar bukan?"

Pemuas MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang