Seorang Gio

113K 2.9K 195
                                    

Febri menghela napas malas, matanya melirik jam dinding kecil yang sedang menunjuk ke angka 8. Berarti sudah malam dan dia sama sekali belum keluar dari rumah Liam.

Matanya menatap datar cermin yang berada didepannya. Terlihat kulit lehernya mempunyai ruam merah yang baru, karena ya, apalagi kalau bukan Liam yang mencekiknya.

Belum lagi pipi kanannya yang kebas sebab Liam menamparnya hingga dua kali. Sekarang pipi itu terlihat sedikit membengkak dan Febri susah untuk menggerakkan otot wajahnya.

Udah dibilangin jangan pakek kekerasan dasar si psiko gila!

Terus saja itu yang ia ocehkan, kesalnya sudah berada di ubun-ubun. Tangannya masih bergerak malas mengancingi kemeja kebesaran milik Liam.

Febri ditahan untuk dipaksa bersih-bersih dan sekalian saja mandi, Liam memberikan baju ini sebagai gantinya.

Menyebalkan, dia seperti ondel-ondel.

Masih dalam keadaan emosi, Febri lantas beranjak dari kamar mandi dan menendang pintu putih itu hingga terdengar suara jeblakan yang keras.

Matanya memindai sekeliling, sosok Liam tidak ada didalam ruangan. Mendengus malas, Febri memilih berjalan ke depan lemari pakaian.

Membukanya cepat dan meraih hoddie biru yang langsung terlihat oleh matanya.

Ia buka kembali kemeja itu, melemparnya kesembarang arah, dan langsung memakai hoddie kebesaran milik Liam. Ujungnya bahkan melewati lutut.

Tapi Febri tidak peduli, ini lebih baik dibanding kemeja. Dia masih memakai dalaman yang tadi.

Selesai, Febri melangkah keluar. Untungnya kamar Liam berada di lantai satu. Jadi dia tidak perlu pusing harus berjalan kemana. Karena lurus sedikit sudah bertemu dengan ruang tengah.

Yang kosong. Tidak ada seorangpun yang ia lihat.

"Kemana, sih?!" Decaknya sebal.

"Apanya?"

Febri menoleh kearah sumber suara, ada Liam yang berjalan santai dengan kaos putih polos dan training abu.

"Pulang, anterin." Ucapnya ketus.

Liam terkekeh pelan, "makan dulu, gue kebetulan laper, ayo."

Liam melewati Febri untuk menuju ke dapur. Dan Febri lagi-lagi mendengus. Malas sekali dan rasanya ingin pulang.

Dia bersumpah jika kegiatannya dengan Liam seakan menguras habis semua tenaganya.

Lelaki itu berbohong, tiga kondom apanya, yang ada lima. Wuah, kalau dibayangkan lagi Febri merinding seluruh badan.

"Mau makan apa?"

Perhatian Febri teralihkan pada Liam yang sedang berdiri didepan kulkas. Dia sendiri sudah duduk anteng di kursi.

"Apa aja. Yang enak di makan, yang bisa di makan." Jawabnya. Kembali memperhatikan interior dapur yang mewah.

Liam berbalik, memandang Febri sampai orangnya sadar dan mereka saling menatap.

"Apaan?" Tanya Febri heran.

"Gue gak bisa masak." Raut wajah Liam datar saat mengucapkan itu.

Membuat Febri berdecak semakin kesal. Dia kini bersidekap dada memandang malas wajah Liam. Lama-lama wajah tampan itu menyebalkan sekali dilihatnya.

"Terus? Ya udah panggilin pelayan aja. Rumah lo segede gini, orang kaya pula, gak mungkin gak punya pelayan."

Tapi Liam malah menggeleng, "jam segini pelayan udah pulang."

Pemuas MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang