Belum Puas

46.3K 3.1K 1K
                                    

Teriakan kesakitan dari dua teman Nadin terhalang oleh dasi yang mengikat mereka. Pipi kanan maupun pipi kiri mereka sudah kebas karena di tampar sebanyak 7 kali, masing-masing tujuh kali. Itu dilakukan oleh Liam.

Kini orangnya sedang berdiri menunduk menatap Nadin yang sudah tergeletak pingsan tak berdaya. Kedua temannya sudah berteriak histeris, entah meminta tolong atau bahkan meminta maaf. Mereka takut melihat bagaimana Liam menginjak kuat kaki kiri Nadin sampai terdengar retakan tulang yang teramat jelas.

"Gue udah siapin duit sogokan. Dokter sama polisi yang nanganin mereka bakalan tetep sama kayak biasanya. Surat D.O udah keluar, terus mereka bakalan terima konsekuensinya dalam dua hari ini. Semua beres. Gue udah nyuruh pengacara nyokap buat siapin semuanya." Jayendra datang dari luar pintu toilet. Mengatakan kalimat panjang itu dalam sekali tarikan napas.

Ketiga temannya mengangguk saja. Lagipula itu sudah menjadi tugasnya Jayendra. Lalu nanti untuk mengancam keluarga yang tidak terima anaknya babak belur, itu urusan Kevin.

"Jemput Febri, kita ngomong di atap." Liam maju menuju wastfel, air keran menyala dan membasuh beberapa noda darah dari telapak tangannya.

"Gue aja." Kevin langsung bergegas pergi, melangkah cepat keluar toilet.

Gio juga ikut keluar, ia memerintahkan beberapa kawanan mereka yang berjaga untuk menggotong tubuh Nadin agar secepatnya dibawa ke rumah sakit.

Rumah sakit yang akan selalu sama dengan dokter langganan mereka.

Ada beberapa tip untuk mereka-mereka yang membantu keempatnya. Senang-senang saja, lagipula semuanya akan terkendali jika ada uang.

Sedangkan Liam dan Jayendra langsung saja ke atap. Menunggu kedatangan Febri yang sedang di jemput Kevin.

"Fe, ada Kak Kevin didepan uks." Puji berbisik di telinga Febri.

"Dia aja?"

Febri bangun, ia melihat Puji mengangguk membenarkan. Sebelum keluar dari tirai ranjang yang Kania tiduri, Febri menatap Anggun dan Cindy yang memang ikut menjaga.

"Gue keluar dulu. Mungkin gak bakalan ikut kumpulan di lapangan. Jagain Kania bentar, ya. Nanti gue usahain buat dia pulang lewat jemputan."

Mereka mengangguk, membiarkan Febri berlalu dari uks. Disambut Kevin yang langsung memegang tangannya. Lelaki itu tidak mengatakan apapun dan hanya menariknya lembut agar segera pergi.

Febri juga tidak bertanya apapun, menurut saja mengikuti langkah lebar Kevin yang sudah dipastikan kearah atap.

Tidak banyak murid di koridor. Hanya beberapa saja yang lewat dan itupun mereka tidak berani memandangi Febri lebih lama tak seperti biasanya.

Dibelokan, Febri bersitatap dengan sosok Widya yang berhenti berjalan. Gadis itu tengah berdiri dari kejauhan. Febri tersenyum miring, langkahnya yang semula tertinggal dibelakang Kevin kini ia cepatkan agar sejajar.

Kevin yang sadar akan hal itu menoleh, tersenyum dengan satu tangan yang mengusak kecil atas rambutnya.

"Kenapa?" Tanya Kevin.

"Kakinya sakit." Febri sedikit meringis pelan.

Lantas Kevin berhenti, dia memeriksa kaki Febri. Lutut gadis itu masih memar. Walau terobati namun tidak rata, malah terlihat sembarangan.

"Nanti kita ke dokter, ya." Kevin mendongak, melihat Febri yang mengangguk perlahan membuatnya terkekeh gemas. Ia kecup dua lutut itu sebelum meraih Febri untuk ia gendong ala bridal.

Febri diam saja, kedua tangannya sengaja melingkar di leher Kevin dan dagunya ia letakkan di bahu kokoh tersebut. Ia tersenyum lebar dengan penuh makna saat kembali bersitatap dengan Widya. Gadis itu terlihat dikerubungi ilusi asap hitam.

Pemuas MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang