Hilang

47.1K 3.2K 564
                                    

Yo! Hehe

***

Benar apa yang ditakutkan Gio maupun yang dikatakan Liam, jika Febri kesal maka gadis itu akan sulit ditemukan. Buktinya, saat dia berlari mengejar Febri—yang hanya berselang beberapa menit saja sudah kehilangan jejak.

Dia bersama Kevin kebingungan seratus persen, Febri tidak ditemukan dimanapun. Apalagi saat di gerbang ada teman-temannya yang masih berdiri menunggu gadis itu dengan gerutuan kesal, terdengar sangat jelas jika Febri belum melewati gerbang sama sekali.

Lantas kemana gadis itu? Tidak mungkin Febri menghilang begitu saja apalagi berpindah tempat secara mendadak. Seingat Gio, Febri itu manusia biasa bukan mutan. Hanya saja licinnya seperti belut dan cepat menghilang layaknya hantu.

Nyatanya, Febri bersembunyi di kelas belokan koridor yang untungnya sudah kosong. Berdiri didekat jendela sambil menatap punggung Gio yang menjauh, disusul Kevin dan tak lama Liam. Juga saat dia sudah berada di kelas itu selama setengah jam, ada Jayendra lewat dengan punggung lesu.

Febri mendengus kesal melihatnya. Sampai dimana ia bertahan hingga angka menunjuk ke jam 06.34 petang. Sekolah sudah sangat sepi, lampu-lampu sudah dinyalakan. Lalu ia memutuskan untuk pulang melewati jalan belakang agar tidak ditanyai satpam.

Berbekal uang yang masih tersisa dari Bimo, Febri sampai di rumahnya dengan aman selamat, namun hatinya masih sama oleh sekelumit rasa menyebalkan, jengkel dan juga sakit hati.

Ketika membuka pintu, Febri melihat ayahnya sedang duduk santai mengganti chanel tv dan untuk ibunya sedang duduk disebelah sang ayah tengah memeriksa hasil penjual di buku besar.

"Udah pulang nak?" Tanya sang ibu tanpa menoleh.

Febri mengangguk pelan, matanya kembali memanas menatap kedua orang tuanya. Memorinya terbayang saat berkali-kali ia harus berbohong pada ibunya karena terlibat dengan mereka berempat. Bagaimana sang ayah memarahinya ketika bercerita tentang keempatnya yang menunggu dirinya di rumah. Padahal dibalik itu semua, anak gadisnya dipermainkan oleh mereka.

Sesuai apa yang Jayendra katakan, jika dirinya dijadikan mainan.

Febri merasa hal itu adalah hal yang teramat jahat yang ia lakukan. Berkali-kali berbohong, menutupi semua masalah yang ia lalui hanya untuk berbalas dendam. Terlebih lagi dia tidak bisa menjaga dirinya sendiri.

Lalu alasan yang sering ia pakai adalah belajar untuk nilainya. Kenyataannya, ia beberapa kali absen oleh ulah mereka berempat.

"Ugh hiks hiks."

Rasanya tidak pernah ia merasa serendah ini.

Mendengar isakkan Febri keduanya langsung menoleh, sang ibu kaget dan segera berdiri. Ayahnya hanya berkerut heran.

"Fey, kamu kenapa sayang?!"

Febri menggeleng, melepaskan sepatunya dengan cepat lalu berjalan sedikit berlari menuju mereka. Memeluk sang ibu dan kembali menangis kencang.

Febri hanya perlu mengeluarkan hal yang terus saja mengganjal di hatinya sedari tadi. Sialnya, perkataan Jayendra terus terngiang.

"Hiks.. Maaf, hiks hiks."

Sang ibu menoleh pada suaminya yang menggeleng tidak tahu. Seingat mereka, anak mereka jarang sekali menangis. Tidak pernah malah. Mengeluh saja jarang. Kecuali jika sedang manjanya keluar. Itu berbeda lagi.

"Aku hiks, aku gak mau sekolah hiks hiks."

Ibu mengernyit heran, tapi tangannya terus mengelus punggung sang anak agar tenang. Terdengar sekali jika tangisan itu seperti menahan sakit.

Pemuas MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang