Hampir seminggu Silvia dan Randy tak saling bicara. Randy hanya mengikuti saran dari teman-temannya, sedangkan Silvia masih dengan segala gengsinya. Silvia tidak akan mau menyapa atau meminta maaf lebih dulu, sebelum Randy yang memulainya.
Contohnya saja hari ini, mereka berenam makan siang bersama di kantin, tetapi Silvia hanya menyahuti ucapan teman-teman yang lain, setiap kali Randy yang berbicara Silvia akan diam. Bahkan untuk menoleh ke arah Randy rasanya kepala Silvia kaku. Selain itu, mereka berdua menolak duduk bersebelahan, alhasil Rara duduk di tengah-tengah mereka.
"Ra, bagi kecap dong," pinta Silvia pada Rara. Padahal yang memegang kecap itu Randy.
Rara mendengkus kesal, untuk makan pun dia tidak tenang. Rasanya dia ingin menikahkan Randy dan Silvia saat ini juga agar dua orang itu akur.
Randy menyodorkan kecap pada Silvia, tetapi hanya mendapat lirikan sinis dari gadis itu. Randy menghela napas, lalu meletakkan botol kecap itu ke atas meja. Barulah setelah itu Silvia mau mengambilnya.
Mereka mulai menyantap makanan masing-masing dalam hening. Dua yang bermasalah, semua yang canggung, risiko pacaran sama teman sendiri ya seperti itu.
Suara bel yang berbunyi nyaring membuat mereka segera meninggalkan kantin. Empat lainnya langsung menuju kelas, sedangkan Silvia dan Rara memisahkan diri karena hendak ke toilet.
Memasuki toilet, dua gadis itu disambut sepi, tak ada siapa pun di sana. Rara langsung masuk ke dalam salah satu bilik, sedangkan Silvia sibuk bercermin dan memperbaiki rambut yang sedikit berantakan.
"Lo tau, gue kesel banget sama Randy. Udah seminggu dia ngediamin gue, enggak ada inisiatif buat minta maaf atau ngejelasin apa-apa gitu. Gue jadi makin curiga kalau dia sebenarnya cuma mainin gue doang," keluh Silvia. Dia tidak segan mencurahkan hal itu karena berpikir tidak akan ada orang lain yang mendengar selain Rara.
"Pikiran lo negatif mulu," sahut Rara dari dalam bilik. Tak lama gadis itu keluar dan mencuci tangan di wastafel sebelah Silvia. "Dia cuma takut lo makin marah."
"Lo diajak ngomong bawaannya ngegas mulu. Anak orang takutlah," lanjut Rara mengingatkan kelakuan sepupunya itu.
"Iya, juga sih." Silvia mengangguk membenarkan. Namun, bukan Silvia namanya jika langsung mengaku salah begitu saja. "Tapi dia kan cowok, masa gituan doang langsung takut. Enggak ada effort-nya banget."
"Terus lo maunya gimana?" tanya Rara.
"Dia nyamperin gue gitu, minta maaf, ngajak ngobrol. Masa gue yang ngajak ngobrol dia duluan?" Silvia berdecak kesal.
"Awas aja lo kalau dia ngajak ngobrol malah ngehindar atau pura-pura gak denger." Rara tahu kelakuan manusia gengsian satu itu.
"Jual mahal dikit dong." Silvia tidak paham dengan dirinya sendiri, kenapa dia ingin sekali membaik dengan Randy. Bahkan dia berharap hubungan mereka masih bisa diperbaiki. Entahlah, apa mungkin dia mulai suka dengan Randy, Silvia tidak mengerti. Kalaupun dia jatuh cinta, itu lebih baik, dia bisa move on lebih cepat dari Farhan. Silvia sudah muak menahan rasa cemburu melihat Farhan bersama Shyfa.
"Lo mah gitu, dikasih tau ada aja alasannya. Udah, ah, ayo, balik."
***
Saat bel pulang berbunyi, Silvia buru-buru membereskan alat tulisnya. Setelah itu, dia mendahului teman-temannya untuk keluar kelas. Namun, berjalan pelan ketika sampai di koridor yang mulai ramai. Sesekali dia menoleh ke belakang berharap Randy peka dan mengejarnya. Sayangnya, tak ada tanda-tanda pemuda itu hendak menyusul. Silvia berdecak kesal karena ekspetasinya sendiri yang terlalu tinggi.
Sementara di sisi lain, Randy masih berada di dalam kelas bersama Farhan dan yang lainnya. Pemuda itu dicegat oleh Rara agar tak keluar kelas karena Rara hendak memberitahukan informasi penting.
"Ada apa, sih, Ra?" tanya Randy. Dia ingin segera keluar dan memantau Silvia sampai gadis itu benar-benar dijemput oleh Jordan seperti beberapa hari terakhir.
"Gue punya kabar baik," ujar Rara sembari tersenyum lebar. "Silvia udah bisa lo ajak ngomong. Dia udah enggak sensi sama lo, dia nunggu lo ngajak dia ngobrol lebih dulu. Dia enggak mau ngajak ngobrol duluan, gengsi katanya. Terus kalau nanti kalau dia lo ajak ngobrol masih agak sinis, jangan panik, dia lagi jual mahal." Rara menjelaskan panjang lebar sesuai apa yang Silvia katakan padanya saat di toilet tadi.
"Seriusan lo? Jangan sampai gue ngajak dia ngobrol gue malah ditonjok kayak Farhan," tanya Randy memastikan. Dia tidak ingin Silvia semakin memusuhinya.
"Gak papa kali, Ran. Tinjuan Silvia enggak seberapa, paling kek dilempar alpukat sebiji," canda Farhan yang langsung mendapat delikan dari Randy.
"Serius elah. Dia tadi ngomel-ngomel di toilet gara-gara lo yang ikutan nyuekin dia katanya. Lo enggak ada effort katanya," jawab Rara dengan wajah dibuat serius agar Randy percaya.
"Susulin gih, Ran, sebelum dia makin marah gara-gara merasa diabaikan sama lo," sahut Shyfa menepuk lengan pemuda itu.
"Yakin, nih?" Randy meminta pendapat agar dia tidak salah ambil langkah.
Keempat insan itu langsung mengangguk menyakinkan Randy. Randy berpikir sebentar, lalu berlari keluar kelas.
"Makasih, guys!" teriaknya saat mencapai ambang pintu kelas.
Randy mencari keberadaan Silvia di tengah ramainya murid di koridor lantai satu. Namun, tak menemukan gadis berponi yang dicarinya. Randy memutuskan berlari ke arah parkiran, dia harus cepat sebelum Silvia dijemput oleh Jordan.
Randy berjalan cepat ke dekat pos satpam saat melihat keberadaan Silvia di sana. Bisa Randy lihat jika gadis itu tengah mencoba menghubungi seseorang. Sudah bisa ditebak, Silvia pasti menghubungi kakaknya.
"Apa-apaan lo!" pekik Silvia yang terkejut karena handphone-nya dirampas begitu saja.
Randy yang menjadi pelaku nampak begitu santai, lalu segera mematikan panggilan telepon di handphone gadis itu. "Lo pulang bareng gue!"
"Gila lo! Balikin hp gue!" Silvia berusaha mengambil kembali ponselnya, tetapi Randy malah mengangkatnya lebih tinggi hingga Silvia sulit mencapainya. Silvia kalah tinggi dengan Randy.
"Enggak bakal gue balikin. Nanti lo malah nelepon Bang Jo buat jemput lo," balas Randy. "Hari ini lo harus pulang bareng gue, gak ada penolakan."
"Gue enggak mau!" tolak Silvia yang masih berkeras dengan keputusannya. "Siapa lo maksa-maksa gue?!"
"Gue pacar lo kalau lo lupa!"
Silvia berdecih mendengar itu. "Kita udah putus kalau lo lupa!"
"Putus? Emang gue setuju?" Randy balik bertanya. "Kita jalin hubungan atas keputusan dua pihak, jadi kalau putus harus persetujuan dua pihak juga."
"Bacot lo!" Silvia sudah pusing mendebat Randy. "Balikin hp gue."
"Pulang bareng gue baru gue balikin!" Randy tidak akan mengubah keinginannya. Dia tidak akan mengembalikan ponselnya sebelum Silvia berhenti keras kepala.
"Oke, gue pulang bareng sama lo," tandas Silvia yang tak ingin berdebat lagi. Dia sudah malu dinonton beberapa murid yang belum pulang.
"Gitu dong." Randy tersenyum lebar, merasa dia menang. "Kita harus lurusin kesalahanpahaman ini. Biar lo enggak perlu gengsi buat manggil gue sayang atau ngomong rindu," ujar Randy dengan percaya diri penuh.
"Enak aja. Ngarep lo!"
Randy berjalan menuju tempatnya biasa memarkirkan motor. Silvia mengikuti dari belakang dengan wajah dongkol, padahal dalam hati Silvia tertawa puas karena akhirnya Randy yang kalah dan mau mengajaknya bicara lebih dulu.
Dari kemarin kek kayak gini, biar gue enggak capek cuekin lo mulu, batin Silvia.
-oOo-
Minggu, 23 Juli 2023
Gengsi cewek itu terlalu tinggi.
Tertanda
Achi's Fairy
KAMU SEDANG MEMBACA
SEBUAH KISAH DARI HATI YANG PATAH
Fiksi RemajaOrang-orang tahu bahwa Silvia hanya sebatas sahabat untuk Farhan tak pernah lebih. Farhan punya Shyfa di sisinya sekarang sebagai kekasih. Sementara Silvia betah dengan kesendirian karena hatinya masih tertambat pada sosok sang sahabat. Tiba-tiba R...