🪐6. Kertas

406 80 169
                                    

Happy reading 🪐-----

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Happy reading 🪐
-----

07:23

Aku sampai sekolah tepat waktu, walaupun tadi malam aku susah tidur. Kalau ditanya kenapa, mungkin karena kepalaku selalu dipenuhi suara-suara yang orang yang meminta bantuan. Entah siapa mereka, aku pun tidak tahu.

Aneh, kukira ini adalah ulahnya Satur atau Madam Alexa, mungkin. Namun, memangnya mereka bisa mendatangkan suara-suara aneh itu?

Aku duduk di bangku dekat lapangan basket, menunggu Anis. Tadi, aku sudah meneleponnya.

"Ve." Tiba-tiba saja Anis sudah berdiri di belakangku. Aku langsung memeluknya, ada rasa bersalah karena telah menghindarinya kemarin.

"Maafin gue, Nis. Nggak seharusnya gue ngediemin lo, yang suka duluan kan Rama, bukannya lo."

Anis membalas pelukanku, "Gue juga minta maaf, ya. Jangan sampe gara-gara ini kita jadi musuhan."

"Lo nggak salah, Nis. Gue ikhlas kok kalau Rama milih lo, gue nggak akan ganggu kalian." Bohong, mungkin ikhlas itu belum bisa, tapi akan kucoba.

Tanpa aku sadari, ternyata Rama dari kejauhan memperhatikan kami. Ia tersenyum manis. Ya Tuhan, andai orang yang disukai Rama itu adalah aku, bukan Anis.

"Khem.." Seseorang berdeham dari arah belakang, mengagetkan ku dan Anis.

"Maaf mengganggu kalian, boleh saya berbicara sebentar denganmu, Ve?" ucapnya. Dia Satur, orang yang hobinya tiba-tiba nongol.

"Eh Satur, ada apa cari Venus? Apa jangan-jangan kalian.." Anis melirik heran padaku dan Satur, apa jangan-jangan Anis mengira kami jadian?

"Huss, nggak! Apaan, sih."

"Ya, udah, gue kesana ya, have fun kalian," pamit Anis, lalu meninggalkan aku dan Satur berdua.

"Ada apa?" tanyaku.

"Tentang hal yang kemarin, lupakan saja. Anggap saja, saya tidak pernah membicarakan itu," ucapnya. Loh? Kenapa coba? Padahal kemarin dia yang bersikeras memintaku untuk menolongnya.

"Maaf jika saya begitu ngeyel untuk melibatkan kamu, saya minta ma--"

"Gue mau!" Aku memotong perkataannya, dipikir-pikir jadi berguna untuk orang lain itu tidak ada salahnya, kan?

Satur mendekat ke arahku, menatap dengan tatapan tidak percaya. "Kamu serius?"

"Iyalah, biasa aja kali, nggak usah kaget gitu. Tapi ada syaratnya."

"Pakai syarat?" tanyanya.

"Iyalah! Di dunia ini nggak ada yang gratis, lo kencing aja bayar!"

"Apa syaratnya?"

Aku melirik licik, kemudian menarik tangannya. Kami sekarang berada di kantin yang sangat ramai.

"Ini syaratnya." Aku melipat kedua tanganku di depan dada, mencoba melihat apakah dia peka atau tidak.

Before Sunset [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang