🪐28. Satur Kenapa?

220 47 97
                                    

Happy reading 🪐

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading 🪐

------


Eh? Seriusan dia mau? Tetapi memang harusnya begitu, sih. Pasti Satur tidak tega melihat aku yang lemah gemulai ini membawa tas berat sendirian.

"Pasti lo nggak tega, kan, liat gue yang lemah, lembut dan gemulai ini bawa berat. Udah, jangan malu-malu jawabnya, udah tahu kok, gue," ucapku begitu narsis.

"Nggak juga, saya kasian aja. Kamu bawa berat, muka kamu kayak nahan berak." Ia mengucapkan itu, lalu pergi dengan membawa tas Pak Harsa yang berat tadi. Sialan!

"Woi, sialan lo! Gini-gini juga gue cakep. Tukang sayur yang tiap hari lewat depan rumah aja naksir sama gue!" Percuma juga aku teriak-teriak, Satur ternyata sudah jauh.

Aku berbalik badan, hendak berjalan menuju kelas. Tiba-tiba saja seorang wanita berlari terburu-buru dan langsung menabrakku. Sontak aku langsung terjatuh. Dia lalu mengulurkan tangannya padaku.

"Venus, maaf ya. Aku nggak sengaja, seriusan. Sini, aku bantu berdiri." Dia menarik tanganku dengan lembutnya. Siapa lagi kalau bukan wanita kebanggaan Satur. Ya, Rana.

"Kamu ada yang luka? Maaf, ya, kamu luka lagi gara-gara aku," ucapnya sambil mengecek badanku.

"Nggak ada, kok, santai aja. Ngomong-ngomong mau ke mana? Buru-buru amat."

Sebisa mungkin aku berusaha baik-baik saja. Padahal sepertinya darah sudah mengalir di sikuku, tetapi Rana tidak boleh lihat. Nanti malah dia sibuk ingin mengobatiku. Jujur, aku malas berurusan lama-lama dengan gadis ini. Walaupun dia adalah gadis yang baik, tetapi entah kenapa aku merasa tidak cocok dengannya.

"Mau ngejar Satur. Kamu berangkat bareng Satur, kan? Dia di mana, ya?"

Lah, kok, bisa dia tahu aku berangkat bareng Satur, sih? "Ke ruang guru barusan, bantuin taruh tasnya Pak Harsa," jawabnya.

"Makasih, Ve. Aku duluan, ya." Dia tersenyum kemudian berlari menuju ruang guru. Untung saja Rana dan Satur beda kelas. Kalau tidak, bisa mabuk aku menyaksikan kebucinan mereka setiap hari.

Tanpa pikir panjang, aku segera melihat ke sikuku yang sejak tadi terasa pedih. Ternyata benar, sikuku sejak tadi berdarah.

"Ve?"

Seperti ada yang memanggilku. Aku menoleh ke belakang. Ternyata Satur. Loh? Kenapa dia enggak sama Rana? Apa Rana belum menemukan Satur, ya?

"Ve? Kenapa? Kok, meringis kesakitan gitu?"

Waduh, kenapa malah ketahuan, sih?

"Ayo, saya anter ke UKS. Bisa infeksi loh, kalau nggak segera di obati." Dengan santainya ia menarik tanganku. Aku masih berdiri di tempatku, membuat Satur berhenti menarikku.

Before Sunset [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang