🪐39. Sahabat

188 44 76
                                    

Happy reading 🪐-----

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading 🪐
-----

Sepanjang jalan dari rooftop ke kantin, otakku tidak bisa mencerna apa yang Rana katakan tadi. Siapa yang ia maksud 'dia'? Atau jangan-jangan ... Satur?! Mana mungkinlah, Satur jelas-jelas pernah bilang kalau dia menyukai orang lain, bukan aku.

"Gimana, Ve?" tanya Satur saat aku baru duduk dan hendak melanjutkan makanku tadi.

"Ya ... nggak gimana-gimanalah. Cuma tadi dia bilang jangan cari dia. Udah, itu doang. Apa dia mau pergi jauh, ya, Sat?"

"Mybe, udahlah, nggak usah terlalu dipikirin," ucapnya enteng, lalu lanjut memakan sepiring siomay.

"Gak usah dipikirin pala lo pitak! Kalo dia pergi, itu artinya kita ngga bakalan tau tentang jepit rambut itu. Mana kita nggak tahu dia kapan baliknya lagi," jawabku sedikit geregetan, hampir saja garpu yang kupegang melayang padanya.

"Ya, udah, santai aja. Toh masih satu setengah bulan lagi. Saya aja santai, kok. Nio juga kayaknya pergi lama. Mengingat dia nggak pernah menemui mamanya," jelas Satur yang terlihat sangat santai. Ya, sudah, kalau dia santai, aku pun akan santai.

Aku lanjut memakan soto yang kupesan tadi. Saat aku menoleh ke samping, terlihat Rana pergi ke parkiran dengan membawa tasnya. Ternyata dia pulang duluan, mungkin karena tidak sanggup di-bully oleh teman-teman satu sekolah.

"Rana, tuh, Sat. Kita kejar aja kali, ya?"

"Nggak usah aneh-aneh, habiskan dulu soto kamu itu. Biarin aja Rana pergi."

Sikap Satur ini seperti menjelaskan jika ia muak dengan Rana atau hanya perasaanku saja? "Mungkin dia marah sama gue, ya? Gara-gara gue bapaknya ketangkep."

"Hus ... jangan nyalahin diri kamu. Emang udah takdir, Ve."

Tetap saja, sebaik apapun kalimat penenang dari Satur, tidak mengurangi rasa bersalahku pada Rana. Sebab aku, papanya dipenjara. Padahal, papanya adalah satu-satunya tulang punggung di keluarga Rana. Lalu, setelah ini apa yang akan Rana lakukan? Bersedih di pojokan kamar?

"Ayo, balik, Sat. Udah nggak semangat gue buat lanjut belajar. Lo kalo mau ikut cabut bareng gue, ya, ayo. Kalo ga mau, ya, terserah. Please, kuping gue udah ga bisa denger kalimat pujian dari temen-temen, sedangkan di sisi lain ada orang yang sedih. Gue nggak mau bahagia di atas penderitaan orang."

"Saya ikut. Tapi, memangnya aman?" tanyanya yang seperti terlihat gelisah.

"Aman, udah."

Aku dan Satur bergegas menuju kelas untuk mengambil tas kami. Aku mengajaknya lewat belakang kelas saja secara diam-diam, aku sudah melakukan cara ini tiap akan bolos dan semuanya berjalan lancar.

Kami mengendap-endap menuju parkiran yang tidak dijaga. Kebiasaan satpam sekolah, nih, pasti ia sedang ngopi di kantin. Kami segera mengambil motor lalu tancap gas. Semudah itu memang, jika sudah berpengalaman. Aku yakin ini baru pertama kalinya Satur bolos.

Before Sunset [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang