🪐36. Rumah Tua

187 35 38
                                    

Happy reading 🪐-----

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading 🪐
-----


Mampus, kenapa pakai keceplosan segala. Orang-orang yang ada di dalam terus melihat ke arah kami. Karena merasa mereka sudah curiga kami di sini, aku dan Satur langsung lari terbirit-birit.

"Lari, Ve!" titahnya, aku langsung mengikutinya berlari. Cukup lama kami berlari, sekarang kakiku sudah terasa sangat keram, aku hanya bisa berlari lebih pelan dibandingkan tadi. Aku melihat Satur yang tadinya berlari maksimal, kini menyamakan kecepatan larinya denganku.

"Sat, gue capek. Kita enggak bisa berhenti dulu?" ucapku ngos-ngosan.

"Enggak bisalah. Kamu mau nanti tertangkap sama mereka?"

Mau tidak mau aku harus lanjut berlari, saat aku menoleh ke belakang, orang-orang itu masih mengejar kami. "Ah, sepertinya kita sembunyi saja, Ve," ucapnya.

"Gitu, kek, dari tadi."

Ia langsung menarik tanganku dan sekarang kami bersembunyi di balik semak-semak. Semoga saja orang-orang yang mengejar kami tidak tahu kalau kami di sini.

Aku yang sedari tadi ngos-ngosan dan ketakutan, sontak kaget saat Satur tiba-tiba memelukku. Ia menenggelamkanku dalam pelukannya. Sekarang wajahku sedang bersandar di dadanya. Astaga, bisa-bisa jantungku meledak karena ditambah berpelukan dengan Satur. Kami hanya bisa diam, meredam suara sebisanya.

"Ke mana mereka? Cepat sekali larinya!" tanya satu pria pada temannya. Aku hanya bisa mendengarkan percakapan mereka dengan penuh rasa khawatir, jantung seakan mau meledak.

"Kita berpencar, kalian ke sana. Sisanya ikut aku ke sana," titah salah satu pria itu. Mereka akhirnya berpencar. Satur mengintip dan mengecek keadaan, apakah mereka benar-benar pergi atau belum.

"Aman, Ve," ucapnya yang baru saja selesai mengintip. Aku mengembuskan napas lega mendengar Satur mengatakan itu. Kami akhirnya meluruskan kaki yang pegal karena berlari tadi.

"Sat, mereka sebenernya siapa, sih? Lo liat, kan, mayat yang terakhir tadi? Itu mayat Nio, njir." Aku sampai heboh sendiri. Bagaimana tidak? Aku masih tidak percaya kalau yang kami lihat tadi adalah mayat Nio. Kukira Nio dikuburkan dengan layak. Kenapa mayat Nio bisa ada pada mereka? Apa mungkin orang yang Satur sebut Om Hendrawan tadi adalah ayahnya Nio?

Satur hanya diam sejak tadi. Ia terlihat masih ngos-ngosan. "Sat, jangan bilang kalau Om Hendrawan itu papanya--"

"Rana," jawabnya memotong kalimatku.

"Anjrit?! Demi apa?! Papanya Rana?!" Saking kagetnya aku sampai berbicara dengan keras.

"Sssttt ... pelankan suara kamu. Nanti mereka ke sini lagi!"

Before Sunset [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang